loading...
loading...
PANCASILA 1
UUDS
(15 AGUSTUS 1950 – 5 JULI 1959) DAN PANCASILA
Disusun
Oleh :
Erman
Istanto (3301412006)
Aziz
Zindani (3301412021)
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2012
KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kami panjatkan kehadirat Alloh
SWT yang
telah memberikan rahmat serta karunia-NYA kepada kami sehingga kami
berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang
berjudul “UUDS ( 15 AGUSTUS 1950 – 5
JULI 1959) Dan Pancasila.
Makalah
ini berisikan tentang UUDS (Undang – Undang Dasar Sementara) yang berlangsung
pada periode tahun 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), baik itu sejarah maupun relevansinya dengan pancasila.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Semarang, 11 September 2012
Penyusun
DAFTAR
ISI
Hal
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................................
i
KATA PENGANTAR........................................................................................................................
ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................
1
A.
Latar Belakang Masalah...........................................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah....................................................................................................................
2
C.
Tujuan......................................................................................................................................
2
BAB II ISI...........................................................................................................................................
3
A.
Sistematika Dan Lampiran Isi UUDS
Beserta Mukadimahnya...............................................
3
B.
Bentuk Negara Pada Masa UUDS 1950.................................................................................
4
C.
Bentuk Pemerintahan Dan Sistem Pemerintahan Pada Masa
UUDS 1950............................
5
D.
Faktor Yang Menyebabkan Seringnya
Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal 11
E.
Perkembangan Umum dan Pengalaman
Pancasila Pada Saat UUDS 1950.............................
13
BAB III PENUTUP............................................................................................................................
14
A.
Kesimpulan..............................................................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................
15
LAMPIRAN........................................................................................................................................
16
Mukadimah dan Batang Tubuh UUDS...............................................................................................
16
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang UUDS
1950
Undang-Undang
Dasar Sosial Republik Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950,
adalah konstitusi yang
berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17
Agustus 1950 hingga
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Pemberlakuan Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut
dimulai pada saat Republik Indonesia Serikat berakhir karena adanya demo
besar-besaran dari rakyat yang menusntut
kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan terbentuknya RIS tidak sejalan dengan keinginan para pendiri
negara, sehingga beberapa negara bagian RIS memutuskan bergabung kembali dengan
NKRI sehingga akhirnya pemerintah membubarkan Republik Indonesia Serikat
dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan
Undang Undang Dasar Sementara sejak 17 Agustus 1950, dengan menganut sistem
kabinet parlementer.
UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14
Agustus 1950 di Jakarta. Pada
tanggal 15 Agustus 1950 UUD ini ditanda tangani oleh Presiden dan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia dan diundangkan sebagai Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia. Konstitusi ini
dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya
Konstituante hasil pemilihan umum yang akan
menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante
secara demokratis. UUDS 1950 tersebut dirancang oleh Panitia
Perancang UUDS yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo. Akhirnya dengan sedikit
perubahan, DPR, Senat dan KNIP menerima rancangan UUDS menjadi UUDS 1950.
A.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sistematika UUDS 1950 ?
2. Bagaimana
bentuk negara pada masa UUDS 1950 ?
3. Bagaimana
bentuk pemerintahan pada masa UUDS 1950 ?
4. Bagaimana
sistem pemerintahan pada masa UUDS 1950 ?
5. Faktor apa
saja yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi
liberal ?
6.
Bagaimana keterkaitannya antara UUDS
1950 dan Pancasila ?
B. Tujuan
1. Mengetahui
sistematika UUDS 1950.
2. Mengetahui
bentuk negara pada masa UUDS 1950.
3. Mengetahui
lembaga bentuk pemerintahan pada masa UUDS 1950
4. Mengetahui
sistem pemerintahan pada masa UUDS 1950
5.
Mengetahui faktor yang menyebabkan
seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal
6.
Memahami pengamalan pancasila pada
maasa UUDS 1950 dan keterkaitan antara UUDS 1950 dengan pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sistematika Dan Lampiran Isi UUDS
Beserta Mukadimahnya
I.
Sistematika UUDS 1950
UUDS 1950
merupakan undang-undang sementara setelah sebelumnya terdapat UUD RIS, atau
UUDS 1950 merupakan undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS menuju
pemberlakuan kembali UUD 1945.
Sistematika
UUDS 1950, adalah sebagai berikut:
a) Mukaddimah,terdiri
dari empat alinea ( berbeda rumusannya, baik dengan UUD 1945 maupun Konstitusi
RIS 1949, serta rumusan dasar Negara terdapat dalam alinea IV dengan rumusan
yang berbeda dengan UUD 1945 ).
§ Alinea pertama berbicara tentang kemerdekaan
§ Alinea kedua merupakan konstasi mengenai jalannya perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia
§ Alinea ketiga berisi pengakuan dan pernyataan syukur kepada Tuhan
§ Alinea keempat berisi tentang negara yang berbentuk Republik dan tentang
dasar negara
b) Batang
Tubuh, terdiri dari enam bab, dan 146 pasal.
Dalam UUDS
1950 tidak terdapat bagian penjelasan.
Dalam
mukaddimah UUDS 1950 teradapat rumusan dan sistematika dasar Negara Pancasila
yang sama dengan yang tercantum dalam konstitusi RIS, yaitu:
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa;
2. Peri
Kemanusiaan;
3. Kebangsaan;
4. Kerakyatan;
5. Keadilan
Sosial
II.
Mukadimah Dan Batang Tubuh UUDS
1950
Terlampir
2. Bentuk Negara Pada Masa UUDS 1950
UUDS 1950 mengatakan bahwa Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat adalah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
dalam mukaddimah alinea IV UUDS 1950 yang berbunyi: …Kemerdekaan kami itu
dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik kesatuan,… Selain
itu, diperkuat dalam Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950 yang menyebutkan:…Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis
dan berbentuk kesatuan…
Ciri negara kesatuan adalah tidak
ada negara dalam negara dan pemerintah pusat mempunyai kedaulatan ke luar dan
ke dalam dengan sistem desentralisasi. Hal ini sesuai amanat Pasal 131 Ayat (1)
UUDS 1950 yang menyatakan bahwa :…Pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan daerah kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi),
dan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingat dasae permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem
pemerintahan negara…
Kedaulatan Republik Indonesia adalah ditangan rakyat dan di lakukan
oleh Pemerintah bersama – sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat. Republik Indonesia meliputi seluruh daerah di
Indonesia. Selanjutnya UUDS memberi pengaturan tentang kewarganegaraan dan
penduduk negara, serta memuat pasal – pasal mengenai hal – hak dan kebebasan –
kebebasan dasar manusia serta asas – asas dasar.
3. Bentuk Pemerintahan Dan Sistem Pemerintahan Pada Masa UUDS 1950
Bentuk pemerintahan adalah republik sesuai dengan Mukadimah alinea IV dan Pasal
1 Ayat (1) UUDS 1950. Bentuk pemerintahan yang dipraktikkan sebagai berikut :
·
Presiden sebagai kepala Negara yang
dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh wakil presiden ( Pasal 45 Ayat 1 dan
2 ).
·
Proses pemilihan presiden dipilih
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan untuk pertama
kali wakil presiden diangkat oleh presiden ( Pasal 45 Ayat 3 dan 4 ).
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem
pemerintahan parlementer yang semu ( quasi parlementer ). Sistem
pemerintahan tersebut mirip sengan sistem pemerintahan Konstitusi RIS 1949.
Dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan, terdapat alat-alat
kelengkapan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UUDS 1950 sebagai
berikut :
1. Presiden
dan wakil presiden.
2. Menteri-menteri.
3. Dewan
Perwakilan Rakyat.
4. Mahkamah
Agung.
5. Dewan
Pengawas Keuangan.
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan seharusnya bersumber pada
demokrasi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUDS 1950. Namun,
dalam pelaksanaanya, demokrasi yang dipraktikan adalah demokrasi liberal,
karena berlaku sistem multipartai. Apalagi setelah hasil pemilu tahun 1955,
tidak ada satupun partai yang menang dan mendapat kursi mayoritas 51% di parlemen, sehungga pemerintahan mengalami
ketidakstabilan politik. Hal ini dapat terlihat dengan sering jatuhnya kabinr
dalam periode ini, yaitu dalam kurun waktu tahun 1950 s/d 1959. Berikut
kabinet-kabinet yang pernah ada pada waktu itu.
I.
Kabinet Natsir ( 6 September 1950 –
27 April 1951 )
Pada tanggal 6 September 1950, terbentuklah kabinet pertama di dalam negara
kesatuan berdasarkan UUDS 1950 itu. kabinet ini di pimpin oleh Moh. Natsir. Natsir merupakan suatu Zaken Kabinet, intinya adalah Partai Masyumi. Kabinet
ini menyerahkan mandatnya tanggal 21 Maret 1951, setelah adanya mosi Handikusomo yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara. Penyebab lainnya
adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat kritikan dari
partai oposisi.
II.
Kabinet Sukiman ( 27 April 1951- 3
April 1952 )
Pada tanggal 27 April 1951, terbentuklah kabinet berikutnya di bawah
pimpinan soekiman sebagai perdana menteri. Kabinet
Sukiman merupakan koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman
muncul berbagai gangguan keamanan, misalnya DI/TII semakin meluas dan Republik
Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh karena kebijakan politik luar negerinya
diangap condong ke Serikat. Pada tanggal 15 Januari 1952 diadakan
penandatanganan Mutual Security Act (MSA). Perjanjian ini berisi kerja sama
keamananan dan Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer.
III.
Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30
Juli 1953 )
Tanggal 1 Maret 1952, presiden menunjuk Sidik
Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkususanto ( Masyumi ) sebagai formatur,
untuk membentuk kabinet yang kuat dan mendapat dukungandari parlemen. Namun
usaha kedua formatur tersebut gagal. Kemudian presiden membentuk wilopo untuk
membentuk kabinet. Kemudian pada tanggal 3 April 1952 kabinet Wilopo terbentuk.
Kabinet Wilopo didukung oleh PNI, Masyumi, dan PSI. Prioritas utama program
kerjanya adalah peningkatan kesejahteraan umum. Peristiwa penting yang terjadi
semasa pemerintahannya adalah peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung
Morawa. Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu tuntutan rakyat yang didukung oleh
Angkatan Darat yang dipimpin Nasution, agar DPR Sementara dibubarkan diganti
dengan parlemen baru. Sedang Peristiwa Tanjung Morawa (Sumatra Timur) mencakup
persoalan perkebunan asing di Tanjung Morawa yang diperebutkan dengan rakyat
yang mengakibatkan beberapa petani tewas. Kabinet ini
juga mengahdapi kesukaran yang tidak sedikit, sementara tumbuh keretakan –
keretakan politik, serta gejala provinsialisme dan saparatisme. Kemudian
kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 3 Juni 1953.
IV.
Kabinet Ali Sastroamijoyo I ( 30
Juli 1953-12 Agustus 1955 )
Setelah mengalami krisis selama 58 hari, pada
tanggal 1 Agustus 1953 terbentuklah kabinet baru dibawah kepemimpinan Ali
Sastroamidjodjo dan Wongsonegoro sebagai wakilnya. Kabinet ini
dikenal dengan Kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro). Program kabinet Ali Wongso juga tidak jauh dari kabinet – kabinet
sebelumnya, yang tertuju kepada penaganan – penanganan masalah dalam negeri, pengembalian
Irian Barat dan melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif. Dalam pada
itu kesulitan serta hambatan semakin memuncak. Kabinet ini berhasil
melaksanakan persiapan – persiapan pemilihan umum, Prestasi
yang dicapai adalah terlaksananya Konferensi di Bandung 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955, berhubungan dengan terjadinya maslah pergantian
Panglima AD, serta mosi tidak percaya beberapa anggota parlemen yang di terima
oleh presiden, kabinet Ali Wongso mengembalikan mandatnya.
V.
Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 Agustus
1955 – 24 Maret 1956 )
Kabinet yang dipimpin oleh Burhanudin Harahap dengan inti
Masyumi ini menggantikan Kabinet Ali Wongso, pada tanggal 12 Agustus 1955.
Keberhasilan yang diraih adalah menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955 yaitu pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 29 September
1955, dan pada tanggal 15 Desember 1955 memilih anggota konstituante. Dari pemilihan umum tersebut keluarlah empat partai terkuat, yakni : Masyumi,
PNI, NU, dan PKI. Karena terjadi mutasi di beberapa kementerian, maka
pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap menyerahkan mandatnya.
VI.
Kabinet Ali Sastroamijoyo II ( 24
Maret 1956 – 9 April 1957 )
Setelah DPR hasil pemilihan umum di lantik,
terbentuklah kabinet di bawah pimpinan Ali Sastroamidjojo. Program
Kabinet Ali II disebut Rencana Lima Tahun. Program ini memuat masalah jangka
panjang, misalnya perjuangan mengembalikan Irian Barat. Kabinet ini tidak berumur lebih dari satu tahun. Muncul
semangat anti – Cina dan
kekacauan di daerah-daerah sehingga menyebabkan kabinet goyah. Akhirnya pada
Maret 1957, Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya. Pada saat itu presiden menyatakan negara dalam keadaan darurat. Presiden
menunjuk Soewirjdo ( PNI ) untuk membentuk kabinet, akan tetapi usaha itu tidak
berhasil. Maka pada tanggal 9 April 1957, presiden membentuk Soekarno sendiri
sebagai formatur, kemudian di bentuk kabinet darurat ekstraparlementer dengan
Djuanda sebagai Perdana Menteri.
VII.
Kabinet
Djuanda ( 9 April 1957 – 10 Juli 1959 )
Kabinet Djuanda ini di sebut dan di dalamnya duduk dua orang anggota
Angkatan bersenjata. Program kabinet ini di sebut pancakarya yaitu :
1. Membentuk Dewan Nasional
2. Normalisasi keadaan Republk Indonesia
3. Melanjutkan pembatalan KMB
4. Memperjuangkan Irian Barat
5. Mempercepat pembangunan
Kabinet Djuanda sering dikatakan sebagai Zaken Kabinet, karena para
menterinya merupakan ahli dan pakar di bidangnya masing-masing. Tugas utama Kabinet
Djuanda melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaan
ekonomi dan keuangan yang buruk. Prestasi yang diraih adalah berhasil
menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar
yang menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Ketetapan ini dikenal
sebagai Deklarasi Djuanda. Kabinet ini menjadi demisioner ketika Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Untuk lebih jelas tentang praktik penyelenggaran
sistem pemerintahan berdasarkan UUDS 1950 dapat terlihat pada ciri-ciri sistem
pemerintahan pada waktu itu, yaitu sebagai berikut :
1.
Sebagai kepala negara, presiden
dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh wakil presiden (Pasal 45 Ayat 1 dan
2. Seharusnya, tidak ada wakil presiden ).
2.
Presiden dan wakil presiden tidak
dapat diganggu gugat ( Pasal 83 Ayar 1 ).
3.
Kekuasaan legislatif dipegang
oleh pemerintah bersama DPR ( Pasal 89 ), dan DPR berhak mengajukan usul
perubahan undang-undang ( Pasal 90 Ayat 2 ).
4.
DPR dapat memaksa kabinet atau
masing-masing menteri meletakkan jabatannya dan sebagai imbalannya presiden
berhak membubarkan DPR ( Pasal 69 Ayat 2, Pasal 83, dan Pasal 84 ).
5.
Perdana menteri diangkat oleh
presiden ( Seharusnya oleh Parlemen ) dengan membentuk formatur melalui keputusan presiden, begitu juga
dengan penghentiannya ( Pasal 51 Ayat 2,4 dan 5 ).
6.
Presiden dan wakil presiden
berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (Pasal 45, Pasal 46
Ayat 1 dan Pasal 50 ). Seharusnya terpisah antara presiden sebagai kepala
negara dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
7.
Kekuasaan perdana menteri masih
dicampurtangani oleh presiden ( Pasal 52 Ayat 2 ). Seharusnya, presiden tidak
terlibat dalam kepemerintahan.
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara.
Sifat kesementaraan ini Nampak dalam rumusan Pasal 134 yang
menyatakan bahwa “ Konstituante ( Lembaga Pembuat UUD ) bersama-sama pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS
ini “. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955
dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung.
Sekalipun Konstituante telah
bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum
berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut
adalah adanya pertentangan pendapat diantara partai-partai politik di badan
konstituante dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan.
Pada tanggal 22 April 1959
Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD
1945. Pada dasarnya saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima
oleh para anggota Konstituante, tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda.
Oleh karena tidak memperoleh kata
sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah tiga kali diadakan
pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden
tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang
hadir.
Kegagalan Konstituante untuk
menetapkan rancangan UUD membuat keadaan politik dalam negeri Indonesia berada
dalam ancaman. Ancaman yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa. Dalam situasi ini, dengan situasi tersebut pada tanggal 5 Juli
1959 Presiden Soekarno membacakan dekritnya, yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli
1959.
Isi Dekrit 5 Juli 1959 adalah:
1.
Membubarkan Konstutuante.
2.
Memberlakukan kembali Undang-Undang
Dasar 1945 bagi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak
berlakunya lagi UUD sementara tahun 1950.
3.
Membentuk Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
4.
Faktor Yang
Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal
Pada tahun 1950, setelah unitary
dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana
dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri
langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan
partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari:
1. Masyumi (49
kursi).
2. PNI (36 kursi),
3. PSI (17 kursi).
4. PKI (13 kursi)
5. Partai Katholik
(9 kursi).
6. Partai Kristen
(5 kursi), dan
7. Murba (4 kursi),
Sedangkan
sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun
dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi.
Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu
pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur
kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.
kurun waktu
1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas
politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet
sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh.
Sementara Soekarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali
menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang
sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.
Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat
posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata
tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.
Semenjak kabinet
Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar.
Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet
parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.
Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa
demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan
parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam
pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah
sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem
Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka
rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak
cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya
Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta
berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5
Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya
kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
5.
Perkembangan Umum dan Pengalaman
Pancasila Pada Saat UUDS 1950
Suasana umum pada periode ini, di tinjau dari hubungan internasional,
menunjukan perkembangan kedudukan Indonesia sebagai negara muda yang semakin
mendapat pengakuan, sehingga dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi
dengan bangsa – bangsa lainnya dan dapat turut serta menyelesaikan persoalan –
persoalan dunia. Pada tanggal 27 Desember 1950 secara bulat Majelis Umum PBB
menerima Indonesia sebagai anggotanya.
Pada
periode 1950-1959, walaupun
dasar negara tetap
Pancasila, tetapi rumusan sila
keempat bukan berjiwakan
musyawarah mufakat, melainkan
suara terbanyak (voting).
Sistem pemerintahannya yang
liberal sehingga lebih menekankan hak-hak
individual. Pada periode
ini terjadi krisis yang berlarut – larut krisis dan
gejolak – gejolak yang terjadi instabilitas pemerintahan secara terus –
menerus, persatuan
dan kesatuan mendapat tantangan
yang berat dengan
munculnya pemberontakan dengan latar belakang ideologi dan kedaerahan seperti RMS,
PRRI, dan
Permesta yang ingin
melepaskan diri dari
NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan
lebih baik dengan
terlaksananya pemilu 1955
yang dianggap paling demokratis.
Tetapi anggota Konstituante
hasil pemilu tidak
dapat menyusun UUD
seperti yang diharapkan.
Hal ini menimbulkan krisis
politik, ekonomi, dan
keamanan, yang menyebabkan
pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959
untuk membubarkan Konstituante,
UUD 1950 tidak
berlaku, dan kembali kepada
UUD 1945. Kesimpulan
yang ditarik dari penerapan
Pancasila selama periode
ini adalah Pancasila
diarahkan sebagai ideology
liberal yang ternyata
tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Undang-Undang Dasar Sosial Republik
Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang
berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17
Agustus 1950 hingga
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. UUDS 1950 mengatakan bahwa
Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah suatu negara hukum yang
demokratis dan berbentuk kesatuan. Bentuk pemerintahan adalah republik
sesuai dengan Mukadimah alinea IV dan Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950.
Suasana umum pada periode ini, di tinjau dari
hubungan internasional, menunjukan perkembangan kedudukan Indonesia sebagai
negara muda yang semakin mendapat pengakuan, Pada periode
ini terjadi krisis yang berlarut – larut krisis dan
gejolak – gejolak yang terjadi instabilitas pemerintahan secara terus –
menerus, persatuan
dan kesatuan mendapat tantangan
yang berat dengan
munculnya pemberontakan dengan latar belakang ideologi dan kedaerahan seperti RMS,
PRRI, dan
Permesta yang ingin
melepaskan diri dari NKRI. Dalam
bidang politik, demokrasi berjalan
lebih baik dengan
terlaksananya pemilu 1955
yang dianggap paling demokratis. Kesimpulan
yang ditarik dari
penerapan Pancasila selama periode
ini adalah Pancasila
diarahkan sebagai ideology
liberal yang ternyata
tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Pranarka, A.M.W. 1985. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta:Centre
For Strategic And Internasional Studies Jakarta
Agus Salam (2012, 10 September). Ketatanegaran RI Pada Masa Berlakunya UUDS 1950 . Diperoleh 10 September 2012, dari http://agussalam70.blogspot.com/2012/06/
ketatanegaraan-indonesia-pada.html
Wikipedia (2012, 10 September). Periode UUDS 1950 . Diperoleh 10 September 2012, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Undang -Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945#Periode_UUDS_1950_.2817_Agustus_1950_-_5_Juli_1959.29
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA SERIKAT NOMOR 7 TAHUN
1950
TENTANG
TENTANG
PERUBAHAN KONSTITUSI SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA
SERIKAT MENDJADI UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,
Menimbang
:
a)
bahwa
Rakjat daerah-daerah bagian diseluruh Indonesia menghendaki bentuk susunan
Negara republik-kesatuan;
b)
bahwa
kedaulatan adalah ditangan Rakjat;
c)
bahwa
Negara jang berbentuk republik-kesatuan ini sesungguhnja tidak lain dari pada
Negara Indonesia jang kemerdekaannja oleh Rakjat diproklamirkan pada hari 17
Agustus 1945, jang semula berbentuk republik-kesatuan dan kemudian mendjadi
republik federasi;
d)
bahwa
untuk melaksanakan kehendak Rakjat akan bentuk republik kesatuan itu
daerah-daerah bagian Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur telah
menguasakan Pemerintah Republik Indonesia Serikat sepenuhnja untuk bermusjawarat
dengan Pemerintah daerah bagian Negara Republik Indonesia;
e)
bahwa
kini telah tertjapai kata sepakat antara kedua fihak dalam permusjawaratan itu,
sehingga untuk memenuhi kehendak Rakjat, tibalah waktunja untuk mengubah
Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menurut kata sepakat jang telah
tertjapai itu mendjadi Undang-undang Dasar Sementara Negara jang berbentuk
republik-kesatuan dengan nama Republik Indonesia;
Mengingat
:
a)
Pasal 190, pasal 127 bab a dan pasal 191 ajat 2
Konstitusi;
b)
Mengingat
pula: Piagam Persetudjuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah
Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950;
DENGAN PERSETUDJUAN
DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAN SENAT
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : Undang-undang tentang perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat mendjadi Undang-undang Dasar Sementara
Republik Indonesia.
Pasal I
Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat diubah
mendjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, sehingga naskahnja
berbunji sebagai berikut:
Mukaddimah
Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perdjoangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
Rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, jang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan berkat dan rahmat Tuhan tertjapailah tingkatan
sedjarah jang berbahagia dan luhur,
Maka demi ini kami menjusun kemerdekaan kami itu dalam
suatu piagam Negara jang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan ke-Tuhanan
Jang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsaan, kerakjatan dan keadilan sosial,
untuk mewudjudkan kebahagiaan, kesedjahteraan,. perdamaian dan kemerdekaan
dalam masjarakat dan Negara-hukum Indonesia Merdeka jang berdaulat sempurna.
BAB I
Negara
Republik Indonesia
BAGIAN
I
Bentuk
negara dan kedaulatan
Pasal 1
1.
Republik
Indonesia jang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara-hukum jang demokratis
dan berbentuk kesatuan.
2.
Kedaulatan
Republik Indonesia adalah ditangan Rakjat dan dilakukan oleh Pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat.
BAGIAN II
Daerah
negara
Pasal 2
Republik
Indonesia meliputi seluruh daerah Indonesia.
BAGIAN
III
Lambang
dan bahasa negara
Pasal 3
1.
Bendera
kebangsaan Republik Indonesia ialah bendera Sang Merah Putih.
2.
Lagu
kebangsaan ialah lagu "Indonesia Raja".
3.
Meterai
dan lambang negara ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 4
Bahasa
resmi Negara Republik Indonesia ialah Bahasa Indonesia.
BAGIAN IV
Kewarga-negaraan
dan penduduk negara.
Pasal 5
1.
Kewarga-negaraan
Republik Indonesia diatur oleh Undang-undang.
2.
Kewarga-negaraan
(naturalisasi) dilakukan oleh atau dengan kuasa undang-undang.
Undang-undang mengatur akibat-akibat kewarganegaraan
terhadap isteri orang jang telah diwarga-negarakan dan anak-anaknja jang belum
dewasa.
Pasal 6
Penduduk Negara ialah mereka jang diam di Indonesia
menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
BAGIAN V
Hak-hak
kebebasan-kebebasan dasar manusia
Pasal
7
1.
Setiap
orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang.
2.
Sekalian
orang berhak menuntut perlakuan dan perlindungan jang sama oleh undang-undang.
3.
Sekalian
orang berhak menuntut perlindungan jang sama terhadap tiap-tiap pembelakangan
dan terhadap tiap-tiap penghasutan untuk melakukan pembelakangan demikian.
4.
Setiap
orang berhak mendapat bantuan hukum jang sungguh dari hakim-hakim jang
ditentukan untuk itu, melawan perbuatan-perbuatan jang berlawanan dengan
hak-hak dasar jang diperkenankan kepadanja menurut hukum.
Pasal 8
Sekalian orang jang ada didaerah Negara sama berhak
menuntut perlindungan untuk diri dan harta-bendanja.
Pasal 9
1.
Setiap
orang berhak dengan bebas bergerak dan tinggal dalam perbatasan Negara.
2.
Setiap
orang berhak meninggalkan negeri dan djika ia warga-negara atau penduduk
kembali kesitu.
Pasal 10
Tiada seorangpun boleh diperbudak, diperulur atau
diperhamba. Perbudakan, perdagangan budak dan perhambaan dan
segala perbuatan berupa apapun jang tudjuannja kepada itu, dilarang.
Pasal 11
Tiada seorang djuapun akan disiksa ataupun
diperlakukan atau dihukum setjara ganas, tidak mengenal peri-kemanusiaan atau
menghina
Pasal 12
Tiada seorang djuapun boleh ditangkap atau ditahan,
selain atas perintah untuk itu oleh kekuasaan jang sah menurut aturan-aturan
undang-undang dalam hal-hal dan menurut tjara jang diterangkan dalamnja.
Pasal 13
1.
Setiap
orang berhak, dalam persamaan jang sepenuh-nja mendapat perlakuan djudjur dalam
perkaranja oleh hakim jang tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan,
kewadjiban-kewadjibannya dan dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukuman
jang dimadjukan terhadapnja beralasan atau tidak.
2.
Bertentangan
dengan kemauannja tiada seorang djuapun dapat dipisahkan dari pada hakim, jang
diberikan kepadanja oleh aturan-aturan hukum jang berlaku.
Pasal 14
1.
Setiap
orang jang dituntut karena disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak
dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannja dalam suatu sidang
pengadilan, menurut aturan-aturan hukum jang berlaku, dan ia dalam sidang itu
diberikan segala djaminan jang telah ditentukan dan jang perlu untuk pembelaan.
2.
Tiada
seorang diutjapkan boleh dituntut untuk dihukum atau didjatuhi hukuman,
ketjuali karena suatu aturan hukum jang sudah ada dan berlaku terhadapnja.
3.
Apabila
ada perubahan dalam aturan hukum seperti tersebut dalam ajat diatas, maka
dipakailah ketentuan jang lebih baik sitersangka.
Pasal 15
1.
Tiada
suatu pelanggaran atau kedjahatanpun boleh diantjamkan hukuman berupa rampasan
semua barang kepunjaan jang bersalah.
2.
Tidak
suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak
kewargaan.
Pasal 16
1.
Tempat
kediaman siapapun tidak boleh diganggu-gugat.
2.
Mengindjak
suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan
kehendak orang jang mendiaminja, hanja dibolehkan dalam hal-hal jang ditetapkan
dalam suatu aturan hukum jang berlaku baginja.
Pasal 17
Kemerdekaan dan rahasia dalam perhubungan
surat-menjurat tidak boleh diganggu gugat, selainnja dari atas perintah hakim
atau kekuasaan lain jang telah disahkan untuk itu menurut peraturan-peraturan
dan undang-undang dalam hal-hal jang diterangkan dalam peraturan itu.
Pasal 18
Setiap
orang berhak atas kebebasan agama, keinsjafan batin dan pikiran.
Pasal 19
Setiap
orang berhak atas kebebasan mempunjai dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 20
Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat
diakui dan diatur dengan undang-undang.
Pasal 21
Hak berdemonstrasi dan mogok diakui dan diatur dengan
undang-undang.
Pasal 22
1.
Sekalian
orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berhak dengan bebas memadjukan
pengaduan kepada penguasa, baik dengan lisan ataupun dengan tulisan.
2.
Sekalian
orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berhak memadjukan permohonan
kepada penguasa.
Pasal 23
1.
Setiap
warga-negara berhak turut-serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan
perantaraan wakil-wakil jang dipilih dengan bebas menurut tjara jang ditentukan
oleh undang-undang.
2.
Setiap
warga negara dapat diangkat dalam tiap-tiap djabatan pemerintah. Orang asing
boleh diangkat dalam djabatan-djabatan pemerintah menurut aturan-aturan jang
ditetapkan oleh undang-undang.
Pasal 24
Setiap warga-negara berhak dan berkewadjiban
turut-serta dengan sungguh-sungguh dalam pertahanan Negara.
Pasal 25
1.
Penguasa
tidak akan mengikatkan keuntungan atau kerugian kepada termasuknja warga-negara
dalam sesuatu golongan rakjat.
2.
Perbedaan
dalam kebutuhan masjarakat dan kebutuhan hukum golongan rakjat akan
diperhatikan.
Pasal 26
1.
Setiap
orang berhak mempunyai milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain.
2.
Seorangpun
tidak boleh dirampas miliknja dengan semena-mena.
3.
Hak milik
itu adalah funksi sosial
Pasal 27
1.
Pentjabutan
hal milik untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan,
ketjuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang.
2.
Apabila
sesuatu benda harus dibinasakan untuk kepentingan umum, ataupun, baik untuk
selama-lamanja maupun untuk beberapa lama, harus dirusakkan sampai tak terpakai
lagi, oleh kekuasaan umum; maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian dan
menurut aturan-aturan undang-undang, ketjuali djika ditentukan jang sebaliknja
oleh aturan-aturan itu.
Pasal 28
1.
Setiap
warga-negara, sesuai dengan ketjakapannja, berhak atas pekerdjaan, jang lajak
bagi kemanusiaan.
2.
Setiap
orang berhak dengan bebas memilih pekerdjaan dan berhak pula atas sjarat-sjarat
perburuhan jang adil.
3.
Setiap
orang jang melakukan pekerdjaan jang sama dalam hal-hal jang sama, berhak atas
pengupahan jang sama dan atas perdjandjian-perdjandjian pekerdjaan jang sama
baiknja.
4.
Setup
orang jang melakukan pekerjaan, berhak atas pengupahan adil jang mendjamin
kehidupannja bersama dengan keluarganja, sepadan dengan martabat manusia.
Pasal 29
Setiap
orang berhak mendirikan serikat-sekerdja dan masuk kedalamnja untuk
memperlindungi dan memperdjoangkan kepentingannja.
Pasal 30
1.
Tiap-tiap
warga-negara berhak mendapat pengadjaran.
2.
Memilih
pengadjaran jang diikuti, adalah bebas.
3.
Mengadjar
adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan
terhadap itu menurut peraturan undang-undang.
Pasal 31
Kebebasan melakukan pekerdjaan sosial dan amal,
mendirikan organisasi-organisasi untuk itu, dan djuga untuk pengadjaran
partikelir, dan mentjari dan mempunjai harta untuk maksud-maksud itu, diakui,
dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan terhadap itu menurut
peraturan undang-undang.
Pasal 32
Setiap orang jang didaerah Negara harus patuh kepada
undang-undang termasuk aturan-aturan hukum jang tak tertulis, dan kepada
penguasa-penguasa.
Pasal 33
Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan jang
diterangkan dalam bagian ini hanja dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan
undang-undang semata-mata untuk mendjamin pengakuan dan penghormatan jang tak
boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi sjarat-sjarat jang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan
kesedjahteraan dalam suatu masjarakat jang demokratis.
Pasal 34
Tiada suatu ketentuanpun dalam bagian ini boleh
ditafsirkan dengan pengertian, sehingga sesuatu penguasa, golongan atau orang
dapat memetik hak dari padanja untuk mengusahakan sesuatu apa atau melakukan
perbuatan berupa apapun jang bermaksud menghapuskan sesuatu hak atau kebebasan
jang diterangkan dalamnja.
BAGIAN VI
Azas-azas
dasar
Pasal 35
Kemauan Rakjat adalah dasar kekuasaan penguasa;
kemauan itu dinjatakan dalam pemilihan berkala jang djudjur dan jang dilakukan
menurut hak-pilih jang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan
suara jang rahasia ataupun menurut tiara jang djuga mendjamin kebebasan
mengeluarkan suara.
Pasal 36
Penguasa memadjukan kepastian dan djaminan sosial,
teristimewa pemastian dan pendjaminan sjarat-sjarat perburuhan dan
keadaan-keadaan perburuhan jang baik, pentjegahan dan pemberantasan
pengangguran serta penjelenggaraan persediaan untuk hari-tua dan pemeliharaan
djanda-djanda dan anak-jatim-piatu.
Pasal 37
1.
Penguasa
terus-menerus rnenjelenggarakan usaha untuk meninggikan kemakmuran rakjat• dan
berkewadjiban senantiasa mendjamin bagi setiap orang deradjat hidup jang sesuai
dengan martabat manusia untuk dirinja serta keluarganja.
2.
Dengan
tidak mengurangi pembatasan jang ditentukan untuk kepentingan umum dengan
peraturan-peraturan undang-undang, maka. kepada sekalian orang diberikan
kesempatan menurut sifat, bakat dan ketjakapan masing-masing untuk turut-serta
dalam perkembangan sumber-sumber kemakmuran
3.
Penguasa
mentjegah adanja organisasi-organisasi jang bersifat monopoli partikelir jang
merugikan ekonomi nasional menurut peraturan-peraturan jang ditetapkan dengan
undang-undang.
Pasal 38
1.
Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2.
Tjabang-tjabang
produksi jang penting bagi Negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak
dikuasai oleh Negara.
3.
Bumi dan
air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat.
Pasal 39
1.
Keluarga
berhak atas perlindungan oleh masjarakat dan Negara.
2.
Fakir-miskin
dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara.
Pasal 40
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan
serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan mendjundjung azas ini maka penguasa
memadjukan sekuat tenaganja perkembangan kebangsaan dalam kebudajaan serta
kesenian dan ilmu pengetahuan.
Pasal 41
1.
Penguasa
wadjib memadjukan perkembangan rakyat baik rohani maupun djasmani.
2.
Penguasa
teistimewa berusaha selekas-lekasnya menghapuskan buta-huruf.
3.
Penguasa
memenuhi kebutuhan akan pengadjaran umum jang diberikan atas dasar memperdalam
keinsjafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan
memperdalam perasaan peri-kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan jang sama
terhadap kejakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam djam
peladjaran untuk mengadjarkan peladjaran agama sesuai dengan keinginan
orang-tua murid-murid.
4.
Terhadap
pengadjaran rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan dengan lekas kewadjiban
beladjar jang umum.
5.
Murid-murid
sekolah partikelir jang memenuhi sjarat-sjarat kebaikan-kebaikan menurut
undang-undang bagi pengadjaran umum, sama haknja dengan hak murid-murid sekolah
umum.
Pasal 42
Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh
memadjukan kebersihan umum dan kesehatan rakjat.
Pasal 43
1.
Negara
berdasarkan atas ke-Tuhanan Jang Maha Esa.
2.
Negara
mendjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanja masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanja dan kepertjajaannja itu.
3.
Penguasa
memberi perlindungan jang sama kepada segala perkumpulan dan pesekutuan agama
jang diakui.
4.
Pemberian
sokongan berupa apapun oleh penguasa kepada pedjabat-pedjabat agama dan
persekutuan-persekutuan atau perkumpulan-perkumpulan agama dilakukan atas dasar
sama hak.
5.
Penguasa
mengawasi supaja segala persekutuan dan perkumpulan agama patuh-taat kepada
undang-undang, termasuk aturan-aturan hukum jang tak tertulis.
BAB II
Alat-alat
perlengkapan negara
Ketentuan
umum
Pasal 44
Alat-alat perlengkapan Negara ialah:
1.
Presiden
dan Wakil Presiden;
2.
Menteri-menteri;
3.
Dewan
Perwakilan Rakjat;
4.
Mahkamah
Agung;
5.
Dewan
Pengawas Keuangan.
BAGIAN I
Pemerintah
Pasal
45
1.
Presiden
ialah Kepala Negara.
2.
Dalam
melakukan kewadjibannya Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden.
3.
Presiden
dan Wakil-Presiden dipilih menurut aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
4.
Untuk
pertama kali Wakil-Presiden diangkat oleh Presiden dari andjuran jang
dimadjukan oleh Dewan Perwakilan Rakjat.
5.
Presiden
dan Wakil-Presiden harus warga-negara Indonesia jang telah berusia 30 tahun dan
tidak boleh orang jang tidak diperkenankan serta dalam atau mendjalankan
hak-pilih ataupun orang jang telah ditjabut haknja untuk dipilih.
Pasal 46
1.
Presiden
dan Wakil-Presiden berkedudukan ditempat kedudukan Pemerintah.
2.
Pemerintah
berkedudukan di Djakarta, ketjuali djika dalam hal darurat Pemerintah
menentukan tempat jang lain.
Pasal 47
Presiden dan Wakil-Presiden sebelum memangku djabatan,
mengangkat sumpah (menjatakan keterangan) menurut tjara agamanja dihadapan
Dewan Perwakilan Rakjat, sebagai berikut:
Saja bersumpah (menerangkan) bahwa saja, untuk dipilih
mendjadi Presiden (Wakil-Presiden) Republik Indonesia, langsung ataupun tak
langsung, dengan nama atau dengan dalih apapun, tiada memberikan atau
mendjandjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun djuga.
Saja bersumpah (berdjandji) bahwa saja untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam djabatan ini, tiada sekali-kali akan
menerima dari siapapun djuga, langsung ataupun tak langsung sesuatu djandji
atau pemberian.
Saja bersumpah (berdjandji) bahwa saja dengan sekuat
tenaga akan memadjukan kesedjahteraan Republik Indonesia dan bahwa saja akan
melindungi dan mempertahankan kebebasan-kebebasan dan hak-hak umum dan chusus
sekalian penghuni Negara.
Saja bersumpah (berdjandji) setia kepada Undang-undang
Dasar dan lagi bahwa saja akan memelihara segala peraturan jang berlaku bagi
Republik Indonesia, bahwa saja akan setia kepada Nusa dan Bangsa dan bahwa saja
dengan setia akan memenuhi segala kewadjiban jang ditanggungkan kepada saja
oleh djabatan Kepala Negara (Wakil-Kepala Negara) Republik Indonesia, sebagai
sepantasnja bagi Kepala Negara (Wakil-Kepala Negara) jang baik".
Pasal 48
Djika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat
melakukan kewadjibannja dalam masa djabatannja, ia diganti oleh Wakil-Presiden
sampai habis waktunja.
Pasal 49
Jang dapat diangkat mendjadi Menteri jalah
warga-negara Indonesia jang telah berusia 25 tahun dan jang bukan orang jang
tidak diperkenankan serta dalam atau mendjalankan hak-pilih ataupun orang jang
telah ditjabut haknya untuk dipilih.
Pasal 50
Presiden
membentuk Kementerian-kementerian
Pasal 51.
1.
Presiden
menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk Kabinet.
2.
Sesuai
dengan andjuran pembentuk Kabinet itu, Presiden mengangkat seorang dari padanja
mendjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-menteri jang lain.
3.
Sesuai
dengan andjuran pembentuk itu djuga, Presiden menetapkan siapa-siapa dari
Menteri-menteri itu diwadjibkan memimpin Kementerian masing-masing.
4.
Presiden
boleh mengangkat Menteri-menteri jang tidak memangku sesuatu kementerian.
5.
Keputusan-keputusan
Presiden jang memuat pengangkatan jang diterangkan dalam ajat 2 atau 3 pasal
ini ditandatangani serta oleh pembentuk Kabinet.
6.
Pengangkatan
atau penghentian antara-waktu Menteri-menteri begitu pula penghentian Kabinet
dilakukan dengan keputusan Presiden.
Pasal 52
1.
Untuk
merundingkan bersama-sama kepentingan-kepentingan umum Republik Indonesia,
Menteri-menteri bersidang dalam Dewan Menteri jang diketuai oleh Perdana
Menteri atau dalam hal Perdana Menteri berhalangan, oleh salah seorang Menteri
jang ditundjuk oleh Dewan Menteri.
2.
Dewan
Menteri senantiasa memberitahukan segala urusan jang penting kepada Presiden
dan Wakil-Presiden. Masing-masing Menteri berkewadjiban demikian djuga
berhubung dengan urusan-urusan jang chusus masuk tugasnja.
Pasal 53
Sebelum memangku djabatannya, Menteri-menteri
mengangkat sumpah (menjatakan keterangan) dihadapan Presiden menurut tjara
agamanja, sebagai berikut:
Saja bersumpah (menerangkan) bahwa saja, untuk
diangkat mendjadi Menteri, langsung ataupun tak langsung dengan nama atau dalih
apapun, tiada memberikan atau mendjandjikan ataupun akan memberikan sesuatu
kepada siapapun djuga.
Saja bersumpah (berdjandji) bahwa saja, untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam djabatan ini, tiada sekali-kali
menerima dari siapapun djuga, langsung ataupun tak langsung sesuatu djandji
atau pemberian.
Saja bersumpah (berdjandji) setia kepada Undang-undang
Dasar, bahwa saja akan memelihara segala peraturan jang berlaku bagi Republik
Indonesia, bahwa saja dengan sekuat tenaga akan mengusahakan kesedjahteraan
Republik Indonesia, bahwa saja akan setia kepada Nusa dan Bangsa dan bahwa saja
akan memenuhi dengan setia segala kewadjiban jang ditanggungkan kepada saja
oleh djabatan Menteri".
Pasal 54
Gadji Presiden, gadji Wakil-Presiden dan gadji
Menteri-menteri, begitu pula ganti rugi untuk biaja perdjalanan dan biaja
penginapan dan, djika ada, ganti-rugi jang lain-lain, diatur dengan
undang-undang.
Pasal 55
1.
Djabatan
Presiden, Wakil-Presiden dan Menteri tidak boleh dipangku bersama-sama dengan
mendjalankan djabatan umum apapun didalam dan
2.
Presiden,
Wakil-Presiden dan Menteri-menteri tidak boleh, langsung atau tak langsung
turut-serta dalam ataupun mendjadi penanggung untuk sesuatu badan perusahaan
jang berdasarkan perdjandjian untuk memperoleh laba atau untung jang diadakan
dengan Republik Indonesia atau dengan sesuatu daerah autonoom dari Indonesia.
3.
Mereka
tidak boleh mempunjai piutang atas tanggungan Republik Indonesia, ketjuali
surat-surat utang umum.
4.
Jang
ditetapkan dalam ajat 2 dan 3 pasal ini tetap berlaku atas mereka selama tiga
tahun sesudah mereka meletakkan djabatannja.
BAGIAN II
Dewan
Perwakilan Rakjat
Pasal 56
Dewan Perwakilan Rakjat mewakili seluruh Rakjat
Indonesia dan terdiri sedjumlah Anggauta jang besarnja ditetapkan berdasar atas
perhitungan setiap 300.000 djiwa penduduk warga-negara Indonesia mempunjai
seorang wakil; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam ajat kedua
pasal 58.
Pasal 57
Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat dipilih
dalam suatu pemilihan umum oleh warga-negara Indonesia jang memenuhi
sjarat-sjarat dan menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan
undang-undang.
Pasal 58
1.
Golongan-golongan
ketjil Tionghoa, Eropah dan Arab akan mempunjai wakil dalam Dewan Perwakilan
Rakjat dengan berturut-turut sekurang-kurangnya 9, 6 dan 3 Anggauta.
2.
Djika
djumlah-djumlah itu tidak tertjapai dengan pemilihan menurut undang-undang
termaksud dalam pasal 57, maka Pemerintah Republik Indonesia mengangkat
wakil-wakil tambahan bagi golongan-golongan ketjil itu. Djumlah Anggauta Dewan
Perwakilan Rakjat sebagai tersebut dalam pasal 56 ditambah dalam hal itu djika
perlu dengan djumlah pengangkatan-pengangkatan itu.
Pasal 59
Anggauta-anggauta
Dewan Perwakilan Rakjat dipilih untuk masa empat tahun. Mereka meletakkan
djabatannya bersama-sama dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Pasal 60
Jang
boleh menjadi Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat ialah warga-negara jang telah
berusia 25 tahun dan bukan orang jang tidak diperkenankan serta dalam atau
mendjalankan hak-pilih ataupun orang jang haknya untuk dipilih telah ditjabut.
Pasal 61
1.
Keanggautaan
Dewan Perwakilan Rakjat tidak dapat dirangkap dengan djabatan Presiden,
Wakil-Presiden, Djaksa Agung, Ketua, Wakil-Ketua atau Anggauta Mahkamah Agung,
Ketua, Wakil-Ketua atau Anggauta Dewan Pengawas Keuangan, Presiden
Bank-Sirkulasi dan djabatan-djabatan lain jang ditentukan dengan undang-undang.
2.
Seorang
Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat jang merangkap mendjadi Menteri tidak boleh
mempergunakan hak atau kewajibannja sebagai Anggauta badan tersebut selama ia
memangku djabatan Menteri.
3.
Anggauta
Angkatan Perang dalam dinas aktif jang menerima keanggautaan Dewan Perwakilan
Rakjat, dengan sendirinya mendjadi non-aktif selama keanggautaan itu. Setelah
berhenti mendjadi Anggauta, ia kembali dalam dinas-aktif lagi.
Pasal 62
1.
Dewan
Perwakilan Rakjat memilih dari, antaranja seorang Ketua dan seorang atau
beberapa orang Wakil-Ketua. Pemilihan-pemilihan ini membutuhkan pengesahan
Presiden.
2.
Selama
pemilihan Ketua dan Wakil-Ketua belum disahkan oleh Presiden, rapat diketuai
untuk sementara oleh Anggauta jang tertua umurnja.
Pasal 63
Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat sebelum
memangku djabatannja, mengangkat sumpah (meratakan keterangan) dihadapan
Presiden atau Ketua Dewan Perwakilan Rakjat jang dikuasakan untuk itu oleh
Presiden, menurut tjara agamanja sebagai berikut:
Saja bersumpah (menerangkan) bahwa saja, untuk dipilih
(diangkat) mendjadi Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat, langsung atau tak
langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau mendjandjikan
ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun djuga.
Saja bersumpah (berdjandji) bahwa saja, untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam djabatan ini, tiada sekali-kali
akan menerima, langsung ataupun tak langsung, dari siapapun djuga sesuatu
djandji atau pemberian.
Saja bersumpah (berdjandji), bahwa saja senantiasa
akan membantu memelihara Undang-undang Dasar dan segala peraturan jang lain
berlaku bagi Republik Indonesia, bahwa saja akan berusaha dengan sekuat tenaga
memadjukan kesedjahteraan Republik Indonesia dan bahwa saja akan setia kepada
Nusa dan Bangsa".
Pasal 64
Dalam rapat Dewan Perwakilan Rakjat Ketua memberi
kesempatan berbitjara kepada Menteri-menteri, apabila dan tiap-tiap kali mereka
mengingininja.
Pasal 65
1.
Dewan
Perwakilan Rakjat bersidang, apabila Pemerintah menjatakan kehendaknja tentang
itu atau apabila Ketua atau sekurang-kurangnya sepersepuluh dari djumlah
Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat menganggap hal itu perlu.
2.
Ketua
memanggil rapat Dewan Perwakilan Rakjat.
Pasal 66
1.
Rapat-rapat
Dewan Perwakilan Rakjat terbuka untuk umum ketjuali djika Ketua menimbang perlu
pintu ditutup ataupun sekurang-kurangnya sepuluh Anggauta menuntut hal itu.
2.
Sesudah
pintu ditutup, rapat memutuskan apakah permusjawaratan dilakukan dengan pintu
tertutup.
3.
Tentang
hal-hal jang dibitjarakan dalam rapat tertutup dapat djuga diputuskan dengan
pintu tertutup.
Pasal 67
Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat setiap waktu
boleh meletakkan djabatannja.
Mereka memberitahukan hal itu dengan surat kepada
Ketua.
Pasal 68
Dewan Perwakilan Rakjat mengadakan rapat-rapatnya di
Djakarta ketjuali djika dalam hal-hal darurat Pemerintah menentukan tempat jang
lain.
Pasal 69
1.
Dewan
Perwakilan Rakjat mempunjai hak interpelasi dan hak menanja; Anggauta-anggauta
mempunyai hak menanja.
2.
Menteri-menteri
memberikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat, baik dengan lisan maupun dengan
tertulis, segala penerangan jang dikehendaki menurut ajat jang lalu dan jang
pemberiannja dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum Republik
Indonesia.
Pasal 70
Dewan Perwakilan Rakjat mempunjai hak menjelidiki (enquete),
menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 71
Ketua dan Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat
begitu pula Menteri-menteri tidak dapat dituntut dimuka pengadilan karena jang
dikatakannja dalam rapat atau jang dikemukakannja dengan surat kepada madjelis
itu, ketjuali djika mereka dengan itu mengumumkan apa jang dikatakan atau jang
dikemukakan dalam rapat tertutup dengan sjarat supaja dirahasiakan.
Pasal 72
1.
Anggauta-anggauta
Dewan Perwakilan Rakjat mengeluarkan suaranja sebagai orang jang bebas, menurut
perasaan kehormatan dan keinsjafan batinnja, tidak atas perintah atau dengan
kewadjiban berembuk dahulu dengan mereka jang menundjuknja sebagai anggauta.
2.
Mereka
tidak mengeluarkan suara tentang hal jang mengenai dirinja sendiri.
Pasal 73
Gadji Ketua Dewan Perwakilan Rakjat,
tundjangan-tundjangan jang akan diberikan kepada Anggauta-anggauta dan mungkin
djuga kepada Ketua, begitu pula biaja perdjalanan-4an penginapan jang harus
didapatnja, diatur dengan undang-undang.
Pasal 74
1.
Sekalian
orang jang menghadiri rapat Dewan Perwakilan Rakjat jang tertutup, wadjib
merahasiakan jang dibitjarakan dalam rapat itu, ketjuali djika madjelis ini
memutuskan lain, ataupun djika kewadjiban, merahasiakan itu dihapuskan.
2.
Hal itu
berlaku djuga terhadap Anggauta-anggauta, Menteri-menteri dan pegawai-pegawai
jang mendapat tahu dengan tjara bagaimanapun tentang jang dibitjarakan
itu.
Pasal 75
1.
Dewan
Perwakilan Rakjat tidak boleh bermusjawarat atau mengambil keputusan, djika
tidak hadir lebih dari seperdua djumlah anggauta-sidang.
2.
Sekedar
dalam Undang-undang Dasar ini tidak ditetapkan lain, maka segala keputusan
diambil dengan djumlah terbanjak mutlak suara jang dikeluarkan.
3.
Apabila,
pada waktu mengambil keputusan, suara-suara sama berat, dalam hal rapat itu
lengkap anggautanya, usul itu dianggap ditolak, atau dalam hal lain, mengambil
keputusan ditangguhkan sampai rapat jang berikut. Apabila suara-suara sama berat lagi, maka usul itu
dianggap ditolak.
4.
Pemungutan
suara tentang orang dilakukan dengan rahasia dan tertulis. Apabila suara-suara
sama berat, maka keputusan diambil dengan undian.
Pasal 76
Dewan Perwakilan Rakjat selekas mungkin menetapkan
peraturan ketertibannja.
Pasal 77
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 138,
maka untuk pertama kali selama Dewan Perwakilan Rakjat belum tersusun dengan
pemilihan menurut undang-undang, Dewan Perwakilan Rakjat terdiri dari Ketua,
Wakil-wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat Republik
Indonesia Serikat, Ketua, Wakil-wakil Ketua dan Anggauta-anggauta. Badan
Pekerdja Komite Nasional Pusat dan Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta
Dewan Pertimbangan Agung.
BAGIAN
III
Mahkamah
Agung
Pasal 78
Susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung diatur dengan
undang-undang.
Pasal 79
1.
Ketua,
Wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta Mahkamah Agung diangkat menurut aturan-aturan
jang ditetapkan dengan undang-undang.
Pengangkatan itu adalah untuk seumur hidup; ketentuan
ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam ajat-ajat jang berikut.
2.
Undang-undang
dapat menetapkan bahwa Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta anggauta Mahkamah Agung
diberhentikan, apabila mentjapai usia jang
3.
Mereka
dapat dipetjat atau diberhentikan menurut tjara dan dalam hal jang ditentukan
oleh undang-undang.
4.
Mereka
dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri.
BAGIAN IV
Dewan
Pengawas Keuangan
Pasal 80
Susunan dan kekuasaan Dewan Pengawas Keuangan diatur
dengan undang-undang.
Pasal 81
1.
Ketua,
Wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta Dewan Pengawas Keuangan diangkat menurut
aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pengangkatan itu adalah seumur hidup; ketentuan ini
tidak mengurangi jang ditetapkan dalam ajat-ajat jang berikut.
2.
Undang-undang
dapat menetapkan, bahwa Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta diberhentikan,
apabila mentjapai usia jang tertentu.
3.
Mereka
dapat dipetjat atau diberhentikan menurut tjara dan dalam hal jang ditentukan
dengan undang-undang.
4.
Mereka
dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri.
BAB III
Tugas
alat-alat perlengkapan negara
BAGIAN I
Pemerintahan
Pasal 82
Pemerintah menjelenggarakan kesedjahteraan Indonesia
dan teristimewa berusaha supaja Undang-undang Dasar, undang-undang dan
peraturan-peraturan lain didjalankan.
Pasal 83
1.
Presiden
dan Wakil-Presiden tidak dapat diganggu-gugat.
2.
Menteri-menteri
bertanggung-djawab atas seluruh kebidjaksanaan, Pemerintah, baik bersama-sama
untuk seluruhnja, maupun masing-masing untuk bagiannja sendiri-sendiri.
Pasal 84
Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakjat.
Keputusan Presiden jang menjatakan pembubaran itu,
memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakjat baru
dalam 30 hari.
Pasal 85
Sekalian keputusan I residen djuga jang mengenai
kekuasaannja atas Angkatan Perang Republik Indonesia, ditanda tangani serta
oleh Menteri (Menteri-menteri) jang bersangkutan, ketjuali jang ditetapkan
dalam pasal 45 ajat ke-empat dan pasal 51 ajat ke-empat.
Pasal 86
Pegawai-pegawai Republik Indonesia diangkat menurut
aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 87
Presiden memberikan tanda-tanda kehormatan jang
diadakan dengan undang-undang.
Pasal 88
Peraturan pokok mengenai perhubungan didarat, laut dan
udara ditetapkan dengan undang-undang.
BAGIAN II
Perundang-undangan
Pasal 89
Ketjuali apa jang ditentukan dalam pasal 140 maka
kekuasaan perundang-undangan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini,
dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat.
Pasal 90
1.
Usul
Pemerintah tentang undang-undang disampaikan kepada Dewan -Perwakilan Rakjat
dengan amanat Presiden.
2.
Dewan
Perwakilan Rakjat berhak memadjukan usul undang-undang kepada Pemerintah.
Pasal 91
Dewan Perwakilan Rakjat berhak mengadakan
perubahan-perubahan dalam usul undang-undang jang dimadjukan oleh Pemerintah kepadanja.
Pasal 92
1.
Apabila
Dewan Perwakilan Rakjat menerima usul undang-undang Pemerintah dengan
mengubahnja ataupun tidak, maka usul itu dikirimkannja dengan memberitahukan
hal itu, kepada Presiden.
2.
Apabila
Dewan Perwakilan Rakjat menolak usul undang-undang Pemerintah, maka hal itu
diberitahukannja kepada Presiden.
Pasal 93
Dewan Perwakilan Rakjat, apabila memutuskan akan
memadjukan usul undang-undang, mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh
Pemerintah kepada Presiden.
Pasal 94
1.
Selama
suatu usul undang-undang belum diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat sesuai
dengan ketentuan-ketentuan jang lalu dalam bagian ini, maka usul itu dapat
ditarik kembali oleh Pemerintah.
2.
Pemerintah
harus mengesahkan usul undang-undang jang sudah diterima, ketjuali djika ia
dalam satu bulan sesudah usul itu disampaikan kepadanja untuk disahkan,
menjatakan keberatannja jang tak dapat dihindarkan.
3.
Pengesahan
oleh Pemerintah, ataupun keberatan Pemerintah sebagai dimaksud dalam ajat jang
lalu, diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakjat dengan amanat
Presiden.
Pasal 95
1.
Sekalian
usul undang-undang jang telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat memperoleh
kekuatan undang-undang, apabila sudah disahkan oleh Pemerintah.
2.
Undang-undang
tidak dapat diganggu-gugat.
Pasal 96
1.
Pemerintah
berhak atas kuasa dan tanggung-djawab sendiri menetapkan undang-undang darurat
untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan-pemerintahan jang karena keadaan-keadaan
jang mendesak perlu diatur dengan segera.
2.
Undang-undang
darurat mempunjai kekuasaan dan deradjat undang-undang; ketentuan ini tidak
mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut.
Pasal 97
1.
Peraturan-peraturan
jang termaktub dalam undang-undang darurat, sesudah ditetapkan, disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakjat selambat-lambatnya pada sidang tang berikut jang
merundingkan peraturan ini menurut jang ditentukan tentang merundingkan usul
undang-undang Pemerintah.
2.
Djika
suatu peraturan jang dimaksud dalam ajat jang lalu, waktu dirundingkan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakjat,
maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum.
3.
Djika
undang-undang darurat jang menurut ajat jang lalu tidak berlaku lagi, tidak
mengatur segala akibat jang timbul dari peraturannja - baik jang dapat
dipulihkan maupun jang tidak - maka undang-undang mengadakan tindakan-tindakan
jang perlu tentang itu.
4.
Djika
peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat itu diubah dan ditetapkan
sebagai undang-undang, maka akibat-akibat perubahannja diatur pula sesuai
dengan jang ditetapkan dalam ajat jang lalu.
Pasal 98
1.
Peraturan-peraturan
penjelenggara undang-undang ditetapkan oleh Pemerintah. Namanja ialah peraturan
Pemerintah.
2.
Peraturan
Pemerintah dapat mengantjamkan hukuman-hukuman atas pelanggaran
aturan-aturannja. Batas-batas hukuman jang akan ditetapkan diatur dengan
undang-undang.
3.
Undang-undang
dan peraturan Pemerintah dapat memerintahkan kepada alat-alat perlengkapan lain
dalam Republik Indonesia mengatur selandjutnya pokok-pokok jang tertentu jang
diterangkan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan itu.
4.
Undang-undang
dan peraturan Pemerintah jang bersangkutan memberikan aturan-aturan tentang
pengundangan peraturan-peraturan demikian.
Pasal 100
1.
Undang-undang
mengadakan aturan-aturan tentang membentuk, mengundangkan dan mulai berlakunja
undang-undang dan peraturan-peraturan Pemerintah.
2.
Pengundangan,
terdjadi dalam bentuk menurut undang-undang, adalah sjarat tunggal untuk
kekuatan mengikat.
BAGIAN
III
Pengadilan
Pasal 101
1.
Perkara
perdata, perkara pidana sipil dan perkara pidana militer semata-mata masuk
perkara jang diadili oleh pengadilan-pengadilan jang diadakan atau diakui
dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang.
2.
Mengangkat
dalam djabatan pengadilan jang diadakan dengan undang-undang atau atas kuasa
undang-undang, didasarkan semata-mata pada sjarat kepandaian, ketjakapan dan
kelakuan tak-bertjela jang ditetapkan dengan undang-undang.
3.
Memberhentikan,
memetjat untuk sementara dan memetjat dari djabatan jang demikian hanja boleh
dalam hal-hal jang ditentukan dengan undang-undang.
Pasal 102
Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil
maupun hukum pidana militer, hukum atjara perdata dan hukum atjara pidana,
susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab
hukum ketjuali djil pengundng-undang menganggap perlu untuk mengatur beberapa
hal dalam undang-undang tersendiri.
Pasal 103
Segala tjampur tangan dalam urusan pengadilan oleh
alat-alat perlengkapan jang bukan perlengkapan pengadilan, dilarang, ketjuali
djika di-idzinkan. oleh undang-undang.
Pasal 104
1.
Segala
keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannja dan dalam perkara hukuman
menjebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat jang
didjadikan dasar hukuman itu.
2.
Lain dari
pada pengetjualian-pengetjualian jang ditetapkan oleh- undang-undang, sidang
pengadilan terbuka untuk umum.
3.
Untuk
ketertiban dan kesusilaan umum, hakim boleh menjimpang dari peraturan ini.
4.
Keputusan
senantiasa dinjatakan dengan pintu terbuka.
Pasal 105
1.
Mahkamah
Agung ialah Pengadilan Negara Tertinggi.
2.
Mahkamah
Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan jang
lain, menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
3.
Dalam
hal-hal jang ditundjuk dengan undang-undang, terhadap keputusan-keputusan jang
diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah
Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.
Pasal 106
1.
Presiden,
Wakil-Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta Dewan Perwakilan
Rakjat, Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta Mahkamah Agung, Djaksa Agung pada
Mahkamah Agung, Ketua, Wakil-Ketua, dan Anggauta Dewan Pengawas Keuangan,
Presiden Bank-Sirkulasi dan djuga pegawai-pegawai, anggauta-anggauta
madjelis-madjelis tinggi dan pedjabat-pedjabat lain jang ditundjuk dengan
undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi djuga oleh Mahkamah
Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kedjahatan dan pelanggaran
jabatan serta kedjahatan dan pelanggaran lain jang ditentukan dengan
undang-undang dan jang dilakukannja dalam masa pekerdjaannja, ketjuali djika
ditetapkan lain dengan undang-undang.
2.
Dengan
undang-undang dapat ditetapkan bahwa perkara perdata dan perkara pidana; sipil
terhadap golongan-golongan orang dan badan jang tertentu hanja boleh diadili
oleh pengadilan jang ditundjuk dengan undang-undang itu.
3.
Dengan
undang-undang dapat ditetapkan bahwa perkara jang mengenai peraturan-peraturan
jang diadakan dengan atau atas kuasa undang-undang hanja boleh diadili oleh
pengadilan jang ditundjuk dengan undang-undang itu.
Pasal 107
1.
Presiden
mempunjai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman jang didjatuhkan oleh
keputusan pengadilan.
Hak itu dilakukannja sesudah meminta nasehat dari
Mahkamah Agung, sekadar dengan undang-undang tidak ditundjuk pengadilan jang
lain untuk memberi nasehat.
2.
Djika
hukuman mati didjatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat
didjalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan jang ditetapkan
dengan undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberi grasi.
3.
Amnesti
dan abolisi hanja dapat diberikan dengan undang-undang ataupun atas kuasa
undang-undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung.
Pasal 108
Pemutusan tentang sengketa jang mengenai hukum
tata-usaha diserahkan kepada pengadilan jang mengadili perkara perdata ataupun
kepada alat-alat perlengkapan lain, tetapi djika demikian seboleh-bolehnja
dengan djaminan jang serupa tentang keadilan dan kebenaran.
BAGIAN IV
Keuangan
Babakan 1
Hal
uang
Pasal 109
1.
Diseluruh
daerah Republik Indonesia hanja diakui sah alat-alat pembajar jang
aturan-aturan pengeluarannja ditetapkan dengan undang-undang.
2.
Satuan-hitung
untuk menjatakan jang alat-alat pembajar sah itu ditetapkan dengan
undang-undang.
3.
Undang-undang
mengakui sah alat-alat pembajar baik hingga djumlah jang tak terbatas maupun
hingga djumlah terbatas jang ditentukan untuk itu.
4.
Pengeluaran
alat-alat pembajar jang sah dilakukan oleh atau atas nama pemerintah Republik
Indonesia ataupun oleh Bank-Sirkulasi.
Pasal 110
1.
Untuk
Indonesia ada satu Bank-Sirkulasi.
2.
Penundjukan
sebagai Bank-Sirkulasi dan Pengaturan tataan dan kekuasaannja dilakukan dengan
undang-undang.
Babakan 2
Urusan
Keuangan - Anggaran - Pertanggungan djawab - Gadji.
Pasal 111
1.
Pemerintah
memegang urusan umum keuangan.
2.
Keuangan
negara dipimpin dan dipertanggung-djawabkan menurut aturan-aturan jang
ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 112
1.
Pengawasan
atas dan pemeriksaan tanggung-djawab tentang keuangan negara dilakukan oleh
Dewan Pengawas Keuangan.
2.
Hasil pengawasan
dan pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakjat.
Pasal 113
Dengan undang-undang ditetapkan anggaran semua
pengeluaran Republik Indonesia dan ditundjuk pendapatan-pendapatan untuk
menutup pengeluaran itu.
Pasal 114
1.
Usul
undang-undang penetapan anggaran umum oleh Pemerintah dimadjukan kepada Dewan
Perwakilan Rakjat sebelum permulaan masa jang berkenaan dengan anggaran itu.
Masa itu tidak boleh lebih dari dua tahun.
2.
Usul
undang-undang pengubah anggaran umum, tiap-tiap kali djika dimadjukan
Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakjat.
Pasal 115
1.
Anggaran
terdiri dari bagian-bagian jang masing-masing sekadar perlu, dibagi dalam dua
bab, jaitu satu untuk mengatur pengeluaran-pengeluaran dan satu lagi untuk
menundjuk pendapatan-pendapatan.
Bab-bab terbagi dalam pos-pos.
2.
Untuk
tiap-tiap kementerian anggaran sedikit-dikitnja memuat satu bagian.
3.
Undang-undang
penetapan anggaran masing-masing memuat tidak lebih dari satu bagian.
4.
Dengan
undang-undang dapat di-izinkan permindahan.
Pasal 116
Pengeluaran dan penerimaan Republik Indonesia
dipertanggung-djawabkan kepada Dewan Perwakilan Rakjat, sambil memadjukan
perhitungan jang disahkan oleh Dewan Pengawas Keuangan, menurut aturan-aturan
jang diberikan dengan undang-undang.
Pasal 117
Tidak
diperkenankan r!iemungut padjak, bea dan tjukai untuk kegunaan kas negara,
ketjuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang.
Pasal 118
1.
Pindjaman
uang atas tanggunan Republik Indonesia tidak dapat diadakan, didjamin atau
disahkan, ketjuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang.
2.
Pemerintah
berhak, dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang,
mengeluarkan biljet-biljet perbendaharaan dan promes-promes
perbendaharaan.
Pasal 119
1.
Dengan
tidak mengurangi jang diatur dengan ketentuan-ketentuan chusus, gadji-gadji dan
lain-lain pendapatan anggauta madjelis-madjelis dan pegawai-pegawai Republik
Indonesia ditentukan oleh Pemerintah, dengan mengindahkan aturan-aturan jang
ditetapkan dengan undang-undang dan menurut azas, bahwa dari djabatan tidak
boleh diperoleh keuntungan lain dari pada jang dengan tegas diperkenankan.
2.
Undang-undang
dapat memperkenankan pemindahan kekuasaan jang diterangkan dalam ajat 1 kepada
alat-alat perlengkapan lain jang berkuasa.
3.
Pemberian
pensiun kepada pegawai-pegawai Republik Indonesia diatur dengan
undang-undang.
BAGIAN V
Hubungan
luar negeri
1.
Presiden
mengadakan dan mengesahkan perdjandjian (traktat) dan persetudjuan lain dengan
Negara-negara lain.
Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang,
perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah
disetudjui dengan undang-undang.
2.
Masuk
dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain, dilakukan oleh
Presiden hanja dengan kuasa undang-undang.
Pasal 121
Berdasarkan
perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 120, Pemerintah
memasukkan Republik Indonesia kedalam organisasi-organisasi antara
negara.
Pasal 122
Pemerintah berusaha memetjahkan
perselisihan-perselisihan dengan Negara-negara lain dengan djalan damai dan
dalam hal itu memutuskan pula tentang meminta ataupun tentang menerima
pengadilan atau pewasitan antara negara.
Pasal 123
Presiden mengangkat wakil-wakil Republik Indonesia
pada Negara-negara lain dan menerima wakil Negara-negara lain pada Republik
Indonesia.
BAGIAN VI
Pertahanan
negara dan keamanan umum
Pasal 124
Undang-undang menetapkan aturan-aturan tentang hak dan
kewajiban warga-negara untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan
membela daerahnja.
Ia mengatur tjara mendjalankan hak dan kewadjiban itu
dan menentukan pengetjualiannya.
Pasal 125
1.
Angkatan
Perang Republik Indonesia bertugas melindungi kepentingan-kepentingan negara
Republik Indonesia.
Angkatan
Perang itu dibentuk dari mereka jang sukarela masuk Angkatan Perang dan mereka
jang wadjib masuk Angkatan Perang.
2.
Undang-undang
mengatur segala sesuatu mengenai Angkatan Perang Tetap dan
wadjib-militer.
Pasal 126
1.
Pemerintah
memegang urusan pertahanan.
2.
Undang-undang
mengatur dasar-dasar susunan dan tugas alat perlengkapan jang diberi kewadjiban
menjelenggarakan pertahanan pada umumnja.
Pasal 127
1.
Presiden
memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang Republik Indonesia.
2.
Dalam
keadaan perang Pemerintah menempatkan Angkatan Perang dibawah pimpinan seorang
Panglima Besar.
3.
Opsir-opsir
diangkat, dinaikkan pangkat dan diperhentikan oleh atau atas nama Presiden,
menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 128
Presiden tidak menjatakan perang, melainkan djika hal
itu diizinkan lebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakjat.
Pasal 129
1.
Dengan
tjara dan dalam hal-hal jang akan ditentukan dengan undang-undang, Presiden
dapat menjatakan daerah Republik Indonesia atau bagian-bagian dari padanja
dalam keadaan bahaja, bilamana ia menganggap hal itu perlu untuk kepentingan
keamanan dalam negeri dan keamanan terhadap
2.
Undang-undang
mengatur tingkatan-tingkatan keadaan bahaja dan akibat-akibat pernjataan
demikian itu dan seterusnja menetapkan bilamana kekuasaan alat-alat
perlengkapan kuasa sipil jang berdasarkan Undang-undang Dasar tentang
ketertiban umum dan polisi, seluruhnnja atau sebagian beralih kepada kuasa
Angkatan Perang, dan bahwa penguasa-penguasa sipil takluk kepada
penguasa-penguasa Angkatan Perang.
Pasal 130
Untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum diadakan
suatu alat kekuasaan kepolisian jang diatur dengan undang-undang.
BAB IV
Pemerintah
Daerah dan Daerah-daerah Swapradja
Pasal 131
1.
Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan ketjil jang berhak mengurus rumah
tangganja sendiri (autonoom), dengan bentuk susunan pemerintahannja ditetapkan
dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusjawaratan dan
dasar perwakilan dalam sistim pemerintahan negara.
2.
Kepada
daerah-daerah diberikan autonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganja
sendiri.
3.
Dengan
undang-undang dapat diserahkan penjelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah
jang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganja.
Pasal 132
1.
Kedudukan
daerah-daerah Swapradja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa
dalam bentuk susunan pemerintahannja harus diingat pula ketentuan dalam pasal
131, dasar-dasar permusjawaratan dan perwakilan dalam sistim pemerintahan
negara.
2.
Daerah-daerah
Swapradja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperketjil bertentangan dengan
kehendaknja, ketjuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang jang
menjatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan dan pengetjilan itu,
memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah.
3.
Perselisihan-perselisihan
hukum tentang peraturan-peraturan jang dimaksud dalam ajat 1 dan tentang
mendjalankannja diadili oleh badan pengadilan jang dimaksud dalam pasal 108.
Pasal 133
Sambil menunggu ketentuan-ketentuan sebagai dimaksud
dalam pasal 132 maka peraturan-peraturan jang sudah ada tetap berlaku, dengan
pengertian bahwa penjabat-pendjabat daerah bagian dahulu jang tersebut dalam
peraturan-peraturan itu diganti dengan pendjabat-pendjabat jang demikian pada
Republik Indonesia.
BAB V
Konstituante
Pasal 134
Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar)
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnja menetapkan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia jang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara
ini.
Pasal 135
1.
Konstituante
terdiri dari sedjumlah Anggauta jang besarnja ditetapkan berdasar atas
perhitungan setiap 150.000 djiwa penduduk warga-negara Indonesia mempunjai
seorang wakil.
2.
Anggauta-anggauta
Konstituante dipilih oleh warga-negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan
tjara bebas dan rahasia menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan
undang-undang.
3.
Ketentuan-ketentuan
dalam pasal 58 berlaku buat konstituante dengan pengertian bahwa
djumlah-djumlah wakil itu dua kali lipat.
Pasal 136
Jang ditetapkan dalam pasal 60, 61, 62, 63, 64, 67,
68, 71, 73, 74, 75 ajat 3 dan 4, dan pasal 76 berlaku demikian djuga bagi
Konstituante.
Pasal 137
1.
Konstituante
tidak dapat bermupakat atau mengambil keputusan tentang rantjangan
Undang-undang Dasar baru, djika pada rapatnja tidak hadir sekurang-kurangnja
dua-pertiga dari djumlah anggauta sidang.
2.
Undang-undang
Dasar baru berlaku, djika rantjangannja telah diterima dengan
sekurang-kurangnja dua-pertiga dari djumlah suara Anggauta jang hadir dan
kemudian disahkan oleh Pemerintah.
3.
Apabila
Konstituante sudah menerima rantjangan Undang-undang Dasar, maka dikirimkannja
rantjangan itu kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah.
Pemerintah
mengesahkan rantjangan itu dengan segera.
Pemerintah
mengumumkan Undang-undang Dasar itu dengan keluhuran.
Pasal 138
1.
Apabila
pada waktu Konstituante terbentuk belum diadakan pemilihan Anggauta-anggauta
Dewan Perwakilan Rakjat menurut aturan-aturan Undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 57, maka Konstituante merangkap mendjadi Dewan Perwakilan
Rakjat jang tersusun menurut aturan-aturan jang dimaksud dalam pasal tersebut.
2.
Pekerdjaan
sehari-hari Dewan Perwakilan Rakjat, jang karena ketentuan dalam ajat I pasal
ini mendjadi tugas Konstituante, dilakukan oleh sebuah Badan Pekerdja jang
dipilih oleh Konstituante diantara Anggauta-anggautanja dan jang
bertanggungdjawab kepada Konstituante.
Pasal 139
1.
Badan
Pekerdja terdiri dari Ketua Konstituante sebagai Anggauta merangkap Ketua dan
sedjumlah Anggauta jang besarnja ditetapkan berdasar alas perhitungan setiap 10
Anggauta Konstituante mempunjai seorang wakil.
2.
Pemilihan
Anggauta-anggauta Badan Pekerdja jang bukan Ketua dilakukan menurut
aturan-aturan jang ditentukan dengan undang-undang.
3.
Badan
Pekerdja memilih dari antaranja seorang atau beberapa orang Wakil Ketua. Aturan
dalam pasal 62 berlaku untuk pemilihan ini.
4.
Anggauta-anggauta
Badan Pekerdja sebelum memangku djabatannja, mengangkat sumpah (menjatakan
keterangan) di hadapan Ketua Konstituante menurut tjara agamanja, jang bunjinja
sebagaimana jang ditentukan dalam pasal 63.
BAB VI
Perubahan,
ketentuan-ketentuan peralihan dan ketentuan penutup
BAGIAN I
Perubahan
Pasal 140
1.
Segala
usul untuk mengubah Undang-undang Dasar ini menundjuk dengan tegas perubahan
jang diusulkan.
Dengan
undang-undang dinjatakan bahwa untuk mengadakan perubahan sebagaimana diusulkan
itu, ada dasarnja.
2.
Usul
perubahan Undang-undang Dasar, jang telah dinjatakan dengan undang-undang itu
oleh Pemerintah dengan amanat Presiden disampaikan kepada suatu Badan bernama
Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar, jang terdiri dari Anggauta-anggauta
Dewan Perwakilan Rakjat Sementara dan Anggauta-anggauta Komite Nasional Pusat
jang tidak mendjadi Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat Sementara.
Ketua dan
Wakil-Ketua Dewan Perwakilan Rakjat Sementara mendjadi Ketua dan Wakil-Ketua
Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar.
3.
Jang
ditetapkan dalam pasal 66, 72, 74, 75, 91, 92 dan 94 berlaku demikian djuga
bagi Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar.
4.
Pemerintah
harus dengan segera mengesahkan rantjangan perubahan Undang-undang Dasar jang
telah diterima oleh Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar.
Pasal 141
1.
Dengan
tidak mengurangi ketentuan-ketentuan umum tentang membentuk dan mengundangkan
undang-undang, maka perubahan-perubahan dalam Undang-undang Dasar diumumkan
oleh Pemerintah dengan keluhuran.
2.
Naskah
Undang-undang Dasar jang diubah itu diumumkan sekali lagi oleh Pemerintah
setelah, sekadar perlu, bab-babnja, bagian-bagian tiap-tiap bab dan
pasal-pasalnja diberi nomor berturut dan penundjukan-penundjukkannja diubah.
3.
Alat-alat
perlengkapan berkuasa jang sudah ada dan peraturan-peraturan serta
keputusan-keputusan jang berlaku pada saat suatu perubahan dalam Undang-undang
Dasar mulai berlaku, dilandjutkan sampai diganti dengan jang lain menurut
Undang-undang Dasar, ketjuali djika melandjutkannja itu berlawanan dengan
ketentuan-ketentuan baru dalam Undang-undang Dasar jang tidak memerlukan
peraturan undang-undang atau tindakan-tindakan penglaksanaan jang lebih
landjut.
BAGIAN II
Ketentuan-ketentuan
peradilan
Pasal 142
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan
tata-usaha jang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan
tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik
Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak ditjabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang
dan ketentuan-ketentuan tata-usaha atas kuasa Undang-undang Dasar ini.
Pasal 143
Sekadar hal itu belum ternjata dari
ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasar ini, maka undang-undang menentukan
alat-alat perlengkapan Republik Indonesia jang mana akan mendjalankan tugas dan
kekuasaan alat-alat perlengkapan jang mendjalankan tugas dan kekuasaan itu
sebelum tanggal 17 Agustus 1950, ja'ni atas dasar perundang-undangan jang masih
tetap berlaku karena pasal 142.
Pasal 144
Sambil
menunggu peraturan kewarga-negaraan dengan undang-undang jang tersebut dalam
pasal 5 ajat 1, maka jang sudah mendjadi warga-negara Republik Indonesia ialah
mereka jang menurut atau berdasar atas Persetudjuan perihal pembagian
warganegara jang dilampirkan kepada Persetudjuan Perpindahan memperoleh
kebangsaan Indonesia, dan mereka jang kebangsaannja tidak ditetapkan oleh
Persetujuan tersebut, jang pada tanggal 27 Desember 1949 sudah mendjadi
warga-negara Indonesia menurut perundang-undangan Republik Indonesia jang
berlaku pada tanggal tersebut.
BAGIAN
III
Ketentuan
penutup
Pasal 145
Segera
sesudah Undang-undang Dasar ini mulai berlaku, Pemerintah mewadjibkan satu atau
beberapa panitia jang diangkatnja, untuk mendjalankan tugas sesuai dengan
petundjuk-petundjuknja, bekerdja mengichtiarkan, supaja pada umumnja sekalian
perundang-undangan jang sudah ada pada saat tersebut disesuaikan kepada
Undang-undang Dasar.
Pasal 146
Segera
sesudah Undang-undang Dasar berlaku Pemerintah mewudjudkan pembentukan aparatur
Negara jang bulat untuk melaksanakan pokok-pokok dari Undang-undang Dasar jang
merupakan djiwa perdjuangan nasional dengan djalan menjusun kembal
tenaga-tenaga jang ada.
Pasal II
1.
Undang-undang
Dasar Sementara Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari tanggal 17
Agustus 1950.
2.
Djikalau
dan sekadar sebelum saat jang tersebut dalam ajat 1 sudah dilakukan tindakan-tindakan
untuk membentuk alat-alat perlengkapan Republik Indonesia, sekaliannja atas
dasar ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasar ini, maka ketentuan-ketentuan itu
berlaku surut sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan dilakukan.
Agar
supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan pengumuman undang-undang
ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat.
Disahkan Di Djakarta
Pada Tanggal 15 Agustus
1950
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SERIKAT,
Ttd.
SOEKARNO
PERDANA MENTERI,
Ttd.
MOHAMMAD HATTA
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
SOEPOMO
Diumumkan Di Djakarta
Pada Tanggal 15 Agustus
1950
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
SOEPOMO