Wednesday 28 November 2012

UUDS (15 AGUSTUS 1950 – 5 JULI 1959) DAN PANCASILA

loading...
loading...


PANCASILA 1
UUDS (15 AGUSTUS 1950 – 5 JULI 1959) DAN PANCASILA
 






                                                                                   
Disusun Oleh :

                                  Erman Istanto           (3301412006)
                                  Aziz Zindani              (3301412021)
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012

KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan  kehadirat Alloh SWT  yang  telah memberikan rahmat serta karunia-NYA kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul  “UUDS ( 15 AGUSTUS 1950 – 5 JULI 1959) Dan Pancasila.
Makalah ini berisikan tentang UUDS (Undang – Undang Dasar Sementara) yang berlangsung pada periode tahun 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), baik itu sejarah maupun relevansinya dengan pancasila.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Semarang, 11 September 2012

Penyusun




DAFTAR ISI
                                                                                                                                                            Hal
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................... iii     
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................. 1
A.    Latar Belakang Masalah........................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................................... 2      
C.     Tujuan...................................................................................................................................... 2
BAB II ISI........................................................................................................................................... 3
A.    Sistematika Dan Lampiran Isi UUDS Beserta Mukadimahnya............................................... 3
B.     Bentuk Negara Pada Masa UUDS 1950................................................................................. 4
C.     Bentuk Pemerintahan Dan Sistem Pemerintahan  Pada Masa UUDS 1950............................ 5
D.    Faktor Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal  11
E.     Perkembangan Umum dan Pengalaman Pancasila Pada Saat UUDS 1950............................. 13

BAB III PENUTUP............................................................................................................................ 14
A.    Kesimpulan.............................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................... 15
LAMPIRAN........................................................................................................................................ 16
Mukadimah dan Batang Tubuh UUDS............................................................................................... 16

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang UUDS 1950
Undang-Undang Dasar Sosial Republik Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pemberlakuan Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut dimulai pada saat Republik Indonesia Serikat berakhir karena adanya demo besar-besaran dari rakyat yang menusntut kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan terbentuknya RIS tidak sejalan dengan keinginan para pendiri negara, sehingga beberapa negara bagian RIS memutuskan bergabung kembali dengan NKRI sehingga akhirnya pemerintah membubarkan Republik Indonesia Serikat dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan Undang Undang Dasar Sementara sejak 17 Agustus 1950, dengan menganut sistem kabinet parlementer.
UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.  Pada tanggal 15 Agustus 1950 UUD ini ditanda tangani oleh Presiden dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia dan diundangkan sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis. UUDS 1950 tersebut dirancang oleh Panitia Perancang UUDS yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo. Akhirnya dengan sedikit perubahan, DPR, Senat dan KNIP menerima rancangan UUDS menjadi UUDS 1950.

A.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sistematika UUDS 1950 ?
2.      Bagaimana bentuk negara pada masa UUDS 1950 ?
3.      Bagaimana bentuk pemerintahan pada masa UUDS 1950 ?
4.      Bagaimana sistem pemerintahan pada masa UUDS 1950 ?
5.      Faktor apa saja yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal ?
6.      Bagaimana keterkaitannya antara UUDS 1950 dan Pancasila ?

B.     Tujuan
1.      Mengetahui sistematika UUDS 1950.
2.      Mengetahui bentuk negara pada masa UUDS 1950.
3.      Mengetahui lembaga bentuk pemerintahan pada masa UUDS 1950
4.      Mengetahui sistem pemerintahan pada masa UUDS 1950
5.      Mengetahui faktor yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal
6.      Memahami pengamalan pancasila pada maasa UUDS 1950 dan keterkaitan antara UUDS 1950 dengan pancasila.








BAB II
PEMBAHASAN

1.      Sistematika Dan Lampiran Isi UUDS Beserta Mukadimahnya
                I.            Sistematika UUDS 1950
UUDS 1950 merupakan undang-undang sementara setelah sebelumnya terdapat UUD RIS, atau UUDS 1950 merupakan undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS menuju pemberlakuan kembali UUD 1945.
Sistematika UUDS 1950, adalah sebagai berikut:
a)      Mukaddimah,terdiri dari empat alinea ( berbeda rumusannya, baik dengan UUD 1945 maupun Konstitusi RIS 1949, serta rumusan dasar Negara terdapat dalam alinea IV dengan rumusan yang berbeda dengan UUD 1945 ).
§  Alinea pertama berbicara tentang kemerdekaan
§  Alinea kedua merupakan konstasi mengenai jalannya perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia
§  Alinea ketiga berisi pengakuan dan pernyataan syukur kepada Tuhan
§  Alinea keempat berisi tentang negara yang berbentuk Republik dan tentang dasar negara
b)      Batang Tubuh, terdiri dari enam bab, dan 146 pasal.
Dalam UUDS 1950 tidak terdapat bagian penjelasan.
Dalam mukaddimah UUDS 1950 teradapat rumusan dan sistematika dasar Negara Pancasila yang sama dengan yang tercantum dalam konstitusi RIS, yaitu:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa;
2.      Peri Kemanusiaan;
3.      Kebangsaan;
4.      Kerakyatan;
5.      Keadilan Sosial
                II.            Mukadimah Dan Batang Tubuh UUDS 1950
Terlampir

2.      Bentuk Negara Pada Masa UUDS 1950
UUDS 1950 mengatakan bahwa Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam mukaddimah alinea IV UUDS 1950 yang berbunyi: …Kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik kesatuan,… Selain itu, diperkuat dalam Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950 yang menyebutkan:…Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan…
Ciri negara kesatuan adalah tidak ada negara dalam negara dan pemerintah pusat mempunyai kedaulatan ke luar dan ke dalam dengan sistem desentralisasi. Hal ini sesuai amanat Pasal 131 Ayat (1) UUDS 1950 yang menyatakan bahwa :…Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi), dan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasae permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara…
Kedaulatan Republik Indonesia adalah ditangan rakyat dan di lakukan oleh Pemerintah  bersama – sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Republik Indonesia meliputi seluruh daerah di Indonesia. Selanjutnya UUDS memberi pengaturan tentang kewarganegaraan dan penduduk negara, serta memuat pasal – pasal mengenai hal – hak dan kebebasan – kebebasan dasar manusia serta asas – asas dasar.





3.      Bentuk Pemerintahan Dan Sistem Pemerintahan  Pada Masa UUDS 1950
Bentuk pemerintahan adalah republik sesuai dengan Mukadimah alinea IV dan Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950. Bentuk pemerintahan yang dipraktikkan sebagai berikut :
·         Presiden sebagai kepala Negara yang dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh wakil presiden ( Pasal 45 Ayat 1 dan 2 ).
·         Proses pemilihan presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan untuk pertama kali wakil presiden diangkat oleh presiden ( Pasal 45 Ayat 3 dan 4 ).
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer yang semu ( quasi parlementer ). Sistem pemerintahan tersebut mirip sengan sistem pemerintahan Konstitusi RIS 1949. Dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan, terdapat alat-alat kelengkapan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UUDS 1950 sebagai berikut :
1.      Presiden dan wakil presiden.
2.      Menteri-menteri.
3.      Dewan Perwakilan Rakyat.
4.      Mahkamah Agung.
5.      Dewan Pengawas Keuangan.
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan seharusnya bersumber pada demokrasi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUDS 1950. Namun, dalam pelaksanaanya, demokrasi yang dipraktikan adalah demokrasi liberal, karena berlaku sistem multipartai. Apalagi setelah hasil pemilu tahun 1955, tidak ada satupun partai yang menang dan mendapat kursi mayoritas 51% di parlemen, sehungga pemerintahan mengalami ketidakstabilan politik. Hal ini dapat terlihat dengan sering jatuhnya kabinr dalam periode ini, yaitu dalam kurun waktu tahun 1950 s/d 1959. Berikut kabinet-kabinet yang pernah ada pada waktu itu.
                                           I.            Kabinet Natsir ( 6 September 1950 – 27 April 1951 )
Pada tanggal 6 September 1950, terbentuklah kabinet pertama di dalam negara kesatuan berdasarkan UUDS 1950 itu. kabinet ini di pimpin oleh Moh. Natsir. Natsir merupakan suatu Zaken Kabinet, intinya adalah Partai Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya tanggal 21 Maret 1951, setelah adanya mosi Handikusomo yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara. Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai oposisi.
                                        II.            Kabinet Sukiman ( 27 April 1951- 3 April 1952 )
Pada tanggal 27 April 1951, terbentuklah kabinet berikutnya di bawah pimpinan soekiman sebagai perdana menteri. Kabinet Sukiman merupakan koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman muncul berbagai gangguan keamanan, misalnya DI/TII semakin meluas dan Republik Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh karena kebijakan politik luar negerinya diangap condong ke Serikat. Pada tanggal 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act (MSA). Perjanjian ini berisi kerja sama keamananan dan Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer.
                                     III.            Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli 1953 )
Tanggal 1 Maret 1952, presiden menunjuk Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkususanto ( Masyumi ) sebagai formatur, untuk membentuk kabinet yang kuat dan mendapat dukungandari parlemen. Namun usaha kedua formatur tersebut gagal. Kemudian presiden membentuk wilopo untuk membentuk kabinet. Kemudian pada tanggal 3 April 1952 kabinet Wilopo terbentuk. Kabinet Wilopo didukung oleh PNI, Masyumi, dan PSI. Prioritas utama program kerjanya adalah peningkatan kesejahteraan umum. Peristiwa penting yang terjadi semasa pemerintahannya adalah peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu tuntutan rakyat yang didukung oleh Angkatan Darat yang dipimpin Nasution, agar DPR Sementara dibubarkan diganti dengan parlemen baru. Sedang Peristiwa Tanjung Morawa (Sumatra Timur) mencakup persoalan perkebunan asing di Tanjung Morawa yang diperebutkan dengan rakyat yang mengakibatkan beberapa petani tewas. Kabinet ini juga mengahdapi kesukaran yang tidak sedikit, sementara tumbuh keretakan – keretakan politik, serta gejala provinsialisme dan saparatisme. Kemudian kabinet Wilopo jatuh pada tanggal 3 Juni 1953.
                                     IV.            Kabinet Ali Sastroamijoyo I ( 30 Juli 1953-12 Agustus 1955 )
Setelah mengalami krisis selama 58 hari, pada tanggal 1 Agustus 1953 terbentuklah kabinet baru dibawah kepemimpinan Ali Sastroamidjodjo dan Wongsonegoro sebagai wakilnya. Kabinet ini dikenal dengan Kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro). Program kabinet Ali Wongso juga tidak jauh dari kabinet – kabinet sebelumnya, yang tertuju kepada penaganan – penanganan masalah dalam negeri, pengembalian Irian Barat dan melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif. Dalam pada itu kesulitan serta hambatan semakin memuncak. Kabinet ini berhasil melaksanakan persiapan – persiapan pemilihan umum, Prestasi yang dicapai adalah terlaksananya Konferensi di Bandung 18-24 April 1955. Pada tanggal 24 Juli 1955, berhubungan dengan terjadinya maslah pergantian Panglima AD, serta mosi tidak percaya beberapa anggota parlemen yang di terima oleh presiden, kabinet Ali Wongso mengembalikan mandatnya.
                                        V.            Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956 )
Kabinet yang  dipimpin oleh Burhanudin Harahap dengan inti Masyumi ini menggantikan Kabinet Ali Wongso, pada tanggal 12 Agustus 1955. Keberhasilan yang diraih adalah menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955 yaitu pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 29 September 1955, dan pada tanggal 15 Desember 1955 memilih anggota konstituante. Dari pemilihan umum tersebut keluarlah empat partai terkuat, yakni : Masyumi, PNI, NU, dan PKI. Karena terjadi mutasi di beberapa kementerian, maka pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap menyerahkan mandatnya.
                                     VI.            Kabinet Ali Sastroamijoyo II ( 24 Maret 1956 – 9 April 1957 )
Setelah DPR hasil pemilihan umum di lantik, terbentuklah kabinet di bawah pimpinan Ali Sastroamidjojo. Program Kabinet Ali II disebut Rencana Lima Tahun. Program ini memuat masalah jangka panjang, misalnya perjuangan mengembalikan Irian Barat. Kabinet ini tidak berumur lebih dari satu tahun. Muncul semangat anti – Cina dan kekacauan di daerah-daerah sehingga menyebabkan kabinet goyah. Akhirnya pada Maret 1957, Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya. Pada saat itu presiden menyatakan negara dalam keadaan darurat. Presiden menunjuk Soewirjdo ( PNI ) untuk membentuk kabinet, akan tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka pada tanggal 9 April 1957, presiden membentuk Soekarno sendiri sebagai formatur, kemudian di bentuk kabinet darurat ekstraparlementer dengan Djuanda sebagai Perdana Menteri.
                                  VII.            Kabinet Djuanda ( 9 April 1957 – 10 Juli 1959 )
Kabinet Djuanda ini di sebut dan di dalamnya duduk dua orang anggota Angkatan bersenjata. Program kabinet ini di sebut pancakarya yaitu :
1.      Membentuk Dewan Nasional
2.      Normalisasi keadaan Republk Indonesia
3.      Melanjutkan pembatalan KMB
4.      Memperjuangkan Irian Barat
5.      Mempercepat pembangunan
 Kabinet Djuanda sering dikatakan sebagai Zaken Kabinet, karena para menterinya merupakan ahli dan pakar di bidangnya masing-masing. Tugas utama Kabinet Djuanda melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Prestasi yang diraih adalah berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Ketetapan ini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Kabinet ini menjadi demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Untuk lebih jelas tentang praktik penyelenggaran sistem pemerintahan berdasarkan UUDS 1950 dapat terlihat pada ciri-ciri sistem  pemerintahan pada waktu itu, yaitu sebagai berikut :
1.      Sebagai kepala negara, presiden dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh wakil presiden (Pasal 45 Ayat 1 dan 2. Seharusnya, tidak ada wakil presiden ).
2.      Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat ( Pasal 83 Ayar 1 ).
3.      Kekuasaan legislatif  dipegang oleh pemerintah bersama DPR ( Pasal 89 ), dan DPR berhak mengajukan usul perubahan undang-undang ( Pasal 90 Ayat 2 ).
4.      DPR dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya dan sebagai imbalannya presiden berhak membubarkan DPR ( Pasal 69 Ayat 2, Pasal 83, dan Pasal 84 ).
5.      Perdana menteri diangkat oleh presiden ( Seharusnya oleh Parlemen ) dengan membentuk formatur melalui keputusan presiden, begitu juga dengan penghentiannya ( Pasal 51 Ayat 2,4 dan 5 ).
6.      Presiden dan wakil presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (Pasal 45, Pasal 46 Ayat 1 dan Pasal 50 ). Seharusnya terpisah antara presiden sebagai kepala negara dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
7.      Kekuasaan perdana menteri masih dicampurtangani oleh presiden ( Pasal 52 Ayat 2 ). Seharusnya, presiden tidak terlibat dalam kepemerintahan.
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini Nampak dalam rumusan Pasal 134 yang menyatakan bahwa “ Konstituante ( Lembaga Pembuat UUD ) bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini “. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung.
Sekalipun Konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan pendapat diantara partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan.
Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Pada dasarnya saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante, tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda.
Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah tiga kali diadakan pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.
Kegagalan Konstituante untuk menetapkan rancangan UUD membuat keadaan politik dalam negeri Indonesia berada dalam ancaman.  Ancaman yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam situasi ini,  dengan situasi tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membacakan dekritnya, yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 1959.
Isi Dekrit 5 Juli 1959 adalah:
1.     Membubarkan Konstutuante.
2.      Memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak berlakunya lagi UUD sementara tahun 1950.
3.      Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

4.      Faktor Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal
Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari:
1.      Masyumi (49 kursi).
2.      PNI (36 kursi),
3.      PSI (17 kursi).
4.      PKI (13 kursi)
5.      Partai Katholik (9 kursi).
6.      Partai Kristen (5 kursi), dan
7.      Murba (4 kursi),
Sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi.
Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.
kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Soekarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.
Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.
Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.
Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.

5.      Perkembangan Umum dan Pengalaman Pancasila Pada Saat UUDS 1950
Suasana umum pada periode ini, di tinjau dari hubungan internasional, menunjukan perkembangan kedudukan Indonesia sebagai negara muda yang semakin mendapat pengakuan, sehingga dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa – bangsa lainnya dan dapat turut serta menyelesaikan persoalan – persoalan dunia. Pada tanggal 27 Desember 1950 secara bulat Majelis Umum PBB menerima Indonesia sebagai anggotanya.
Pada  periode  1950-1959,  walaupun  dasar  negara  tetap  Pancasila,  tetapi  rumusan  sila  keempat  bukan  berjiwakan  musyawarah  mufakat,  melainkan  suara  terbanyak  (voting).  Sistem  pemerintahannya  yang  liberal  sehingga  lebih  menekankan  hak-hak  individual.  Pada  periode  ini terjadi krisis yang berlarut – larut krisis dan gejolak – gejolak yang terjadi instabilitas pemerintahan secara terus – menerus, persatuan  dan  kesatuan  mendapat  tantangan  yang  berat  dengan  munculnya  pemberontakan dengan latar belakang ideologi dan kedaerahan seperti  RMS,  PRRI,  dan  Permesta  yang  ingin  melepaskan  diri  dari  NKRI. Dalam  bidang  politik,  demokrasi  berjalan  lebih  baik  dengan  terlaksananya  pemilu  1955  yang  dianggap  paling  demokratis.  Tetapi  anggota  Konstituante  hasil  pemilu  tidak  dapat  menyusun  UUD  seperti  yang  diharapkan.  Hal ini  menimbulkan  krisis  politik, ekonomi,  dan  keamanan,  yang  menyebabkan  pemerintah  mengeluarkan  Dekrit  Presiden  1959  untuk  membubarkan  Konstituante,  UUD  1950  tidak  berlaku,  dan  kembali  kepada  UUD  1945.  Kesimpulan  yang  ditarik  dari  penerapan  Pancasila  selama  periode  ini  adalah  Pancasila  diarahkan  sebagai  ideology  liberal  yang  ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Undang-Undang Dasar Sosial Republik Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.  UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. UUDS 1950 mengatakan bahwa Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan. Bentuk pemerintahan adalah republik sesuai dengan Mukadimah alinea IV dan Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950.
Suasana umum pada periode ini, di tinjau dari hubungan internasional, menunjukan perkembangan kedudukan Indonesia sebagai negara muda yang semakin mendapat pengakuan, Pada  periode  ini terjadi krisis yang berlarut – larut krisis dan gejolak – gejolak yang terjadi instabilitas pemerintahan secara terus – menerus, persatuan  dan  kesatuan  mendapat  tantangan  yang  berat  dengan  munculnya  pemberontakan dengan latar belakang ideologi dan kedaerahan seperti  RMS,  PRRI,  dan  Permesta  yang  ingin  melepaskan  diri  dari  NKRI. Dalam  bidang  politik,  demokrasi  berjalan  lebih  baik  dengan  terlaksananya  pemilu  1955  yang  dianggap  paling  demokratis. Kesimpulan  yang  ditarik  dari  penerapan  Pancasila  selama  periode  ini  adalah  Pancasila  diarahkan  sebagai  ideology  liberal  yang  ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.



DAFTAR PUSTAKA

Pranarka, A.M.W. 1985. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta:Centre For Strategic And Internasional Studies Jakarta
Agus Salam (2012, 10 September). Ketatanegaran RI Pada Masa Berlakunya UUDS 1950  . Diperoleh 10 September 2012, dari http://agussalam70.blogspot.com/2012/06/ ketatanegaraan-indonesia-pada.html













LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA SERIKAT NOMOR 7 TAHUN 1950
TENTANG
PERUBAHAN KONSTITUSI SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT MENDJADI UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,
 Menimbang :
a)        bahwa Rakjat daerah-daerah bagian diseluruh Indonesia menghendaki bentuk susunan Negara republik-kesatuan;
b)        bahwa kedaulatan adalah ditangan Rakjat;
c)        bahwa Negara jang berbentuk republik-kesatuan ini sesungguhnja tidak lain dari pada Negara Indonesia jang kemerdekaannja oleh Rakjat diproklamirkan pada hari 17 Agustus 1945, jang semula berbentuk republik-kesatuan dan kemudian mendjadi republik federasi;
d)       bahwa untuk melaksanakan kehendak Rakjat akan bentuk republik kesatuan itu daerah-daerah bagian Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur telah menguasakan Pemerintah Republik Indonesia Serikat sepenuhnja untuk bermusjawarat dengan Pemerintah daerah bagian Negara Republik Indonesia;
e)        bahwa kini telah tertjapai kata sepakat antara kedua fihak dalam permusjawaratan itu, sehingga untuk memenuhi kehendak Rakjat, tibalah waktunja untuk mengubah Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menurut kata sepakat jang telah tertjapai itu mendjadi Undang-undang Dasar Sementara Negara jang berbentuk republik-kesatuan dengan nama Republik Indonesia;
 Mengingat :
a)        Pasal 190, pasal 127 bab a dan pasal 191 ajat 2 Konstitusi;
b)        Mengingat pula: Piagam Persetudjuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950;
 DENGAN PERSETUDJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAN SENAT
MEMUTUSKAN:
 Menetapkan : Undang-undang tentang perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat mendjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Pasal I
Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat diubah mendjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, sehingga naskahnja berbunji sebagai berikut:
Mukaddimah
Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perdjoangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan berkat dan rahmat Tuhan tertjapailah tingkatan sedjarah jang berbahagia dan luhur,
Maka demi ini kami menjusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam Negara jang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan ke-Tuhanan Jang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsaan, kerakjatan dan keadilan sosial, untuk mewudjudkan kebahagiaan, kesedjahteraan,. perdamaian dan kemerdekaan dalam masjarakat dan Negara-hukum Indonesia Merdeka jang berdaulat sempurna.
BAB I
Negara Republik Indonesia
 BAGIAN I
Bentuk negara dan kedaulatan
Pasal 1
1.        Republik Indonesia jang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara-hukum jang demokratis dan berbentuk kesatuan.
2.        Kedaulatan Republik Indonesia adalah ditangan Rakjat dan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat.
BAGIAN II
Daerah negara
Pasal 2
Republik Indonesia meliputi seluruh daerah Indonesia.


BAGIAN III
Lambang dan bahasa negara 
Pasal 3
1.        Bendera kebangsaan Republik Indonesia ialah bendera Sang Merah Putih.
2.        Lagu kebangsaan ialah lagu "Indonesia Raja".
3.        Meterai dan lambang negara ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 4
Bahasa resmi Negara Republik Indonesia ialah Bahasa Indonesia.
BAGIAN IV
Kewarga-negaraan dan penduduk negara.
Pasal 5
1.        Kewarga-negaraan Republik Indonesia diatur oleh Undang-undang.
2.        Kewarga-negaraan (naturalisasi) dilakukan oleh atau dengan kuasa undang-undang.
Undang-undang mengatur akibat-akibat kewarganegaraan terhadap isteri orang jang telah diwarga-negarakan dan anak-anaknja jang belum dewasa.
Pasal 6
Penduduk Negara ialah mereka jang diam di Indonesia menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.

BAGIAN V
Hak-hak kebebasan-kebebasan dasar manusia
 Pasal 7
1.        Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang.
2.        Sekalian orang berhak menuntut perlakuan dan perlindungan jang sama oleh undang-undang.
3.        Sekalian orang berhak menuntut perlindungan jang sama terhadap tiap-tiap pembelakangan dan terhadap tiap-tiap penghasutan untuk melakukan pembelakangan demikian.
4.        Setiap orang berhak mendapat bantuan hukum jang sungguh dari hakim-hakim jang ditentukan untuk itu, melawan perbuatan-perbuatan jang berlawanan dengan hak-hak dasar jang diperkenankan kepadanja menurut hukum.
Pasal 8
Sekalian orang jang ada didaerah Negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta-bendanja.
Pasal 9
1.        Setiap orang berhak dengan bebas bergerak dan tinggal dalam perbatasan Negara.
2.        Setiap orang berhak meninggalkan negeri dan djika ia warga-negara atau penduduk kembali kesitu.
Pasal 10
Tiada seorangpun boleh diperbudak, diperulur atau diperhamba. Perbudakan, perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan berupa apapun jang tudjuannja kepada itu, dilarang.
Pasal 11
Tiada seorang djuapun akan disiksa ataupun diperlakukan atau dihukum setjara ganas, tidak mengenal peri-kemanusiaan atau menghina 
Pasal 12
Tiada seorang djuapun boleh ditangkap atau ditahan, selain atas perintah untuk itu oleh kekuasaan jang sah menurut aturan-aturan undang-undang dalam hal-hal dan menurut tjara jang diterangkan dalamnja.
Pasal 13
1.        Setiap orang berhak, dalam persamaan jang sepenuh-nja mendapat perlakuan djudjur dalam perkaranja oleh hakim jang tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan, kewadjiban-kewadjibannya dan dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukuman jang dimadjukan terhadapnja beralasan atau tidak.
2.        Bertentangan dengan kemauannja tiada seorang djuapun dapat dipisahkan dari pada hakim, jang diberikan kepadanja oleh aturan-aturan hukum jang berlaku. 
Pasal 14
1.        Setiap orang jang dituntut karena disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannja dalam suatu sidang pengadilan, menurut aturan-aturan hukum jang berlaku, dan ia dalam sidang itu diberikan segala djaminan jang telah ditentukan dan jang perlu untuk pembelaan.
2.        Tiada seorang diutjapkan boleh dituntut untuk dihukum atau didjatuhi hukuman, ketjuali karena suatu aturan hukum jang sudah ada dan berlaku terhadapnja.
3.        Apabila ada perubahan dalam aturan hukum seperti tersebut dalam ajat diatas, maka dipakailah ketentuan jang lebih baik sitersangka.

Pasal 15
1.        Tiada suatu pelanggaran atau kedjahatanpun boleh diantjamkan hukuman berupa rampasan semua barang kepunjaan jang bersalah.
2.        Tidak suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak kewargaan.
Pasal 16
1.        Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu-gugat.
2.        Mengindjak suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang jang mendiaminja, hanja dibolehkan dalam hal-hal jang ditetapkan dalam suatu aturan hukum jang berlaku baginja. 
Pasal 17
Kemerdekaan dan rahasia dalam perhubungan surat-menjurat tidak boleh diganggu gugat, selainnja dari atas perintah hakim atau kekuasaan lain jang telah disahkan untuk itu menurut peraturan-peraturan dan undang-undang dalam hal-hal jang diterangkan dalam peraturan itu. 
Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsjafan batin dan pikiran. 
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunjai dan mengeluarkan pendapat. 
Pasal 20
Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan undang-undang.
Pasal 21
Hak berdemonstrasi dan mogok diakui dan diatur dengan undang-undang. 
Pasal 22
1.        Sekalian orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berhak dengan bebas memadjukan pengaduan kepada penguasa, baik dengan lisan ataupun dengan tulisan.
2.        Sekalian orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berhak memadjukan permohonan kepada penguasa. 
Pasal 23
1.        Setiap warga-negara berhak turut-serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil-wakil jang dipilih dengan bebas menurut tjara jang ditentukan oleh undang-undang.
2.        Setiap warga negara dapat diangkat dalam tiap-tiap djabatan pemerintah. Orang asing boleh diangkat dalam djabatan-djabatan pemerintah menurut aturan-aturan jang ditetapkan oleh undang-undang. 

Pasal 24
Setiap warga-negara berhak dan berkewadjiban turut-serta dengan sungguh-sungguh dalam pertahanan Negara.
Pasal 25
1.        Penguasa tidak akan mengikatkan keuntungan atau kerugian kepada termasuknja warga-negara dalam sesuatu golongan rakjat.
2.        Perbedaan dalam kebutuhan masjarakat dan kebutuhan hukum golongan rakjat akan diperhatikan. 
Pasal 26
1.        Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
2.        Seorangpun tidak boleh dirampas miliknja dengan semena-mena.
3.        Hak milik itu adalah funksi sosial 
Pasal 27
1.        Pentjabutan hal milik untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan, ketjuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang.
2.        Apabila sesuatu benda harus dibinasakan untuk kepentingan umum, ataupun, baik untuk selama-lamanja maupun untuk beberapa lama, harus dirusakkan sampai tak terpakai lagi, oleh kekuasaan umum; maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang, ketjuali djika ditentukan jang sebaliknja oleh aturan-aturan itu. 

Pasal 28
1.        Setiap warga-negara, sesuai dengan ketjakapannja, berhak atas pekerdjaan, jang lajak bagi kemanusiaan.
2.        Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerdjaan dan berhak pula atas sjarat-sjarat perburuhan jang adil.
3.      Setiap orang jang melakukan pekerdjaan jang sama dalam hal-hal jang sama, berhak atas pengupahan jang sama dan atas perdjandjian-perdjandjian pekerdjaan jang sama baiknja.
4.      Setup orang jang melakukan pekerjaan, berhak atas pengupahan adil jang mendjamin kehidupannja bersama dengan keluarganja, sepadan dengan martabat manusia.
Pasal 29
Setiap orang berhak mendirikan serikat-sekerdja dan masuk kedalamnja untuk memperlindungi dan memperdjoangkan kepentingannja. 
Pasal 30
1.        Tiap-tiap warga-negara berhak mendapat pengadjaran.
2.        Memilih pengadjaran jang diikuti, adalah bebas.
3.        Mengadjar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan terhadap itu menurut peraturan undang-undang. 
Pasal 31
Kebebasan melakukan pekerdjaan sosial dan amal, mendirikan organisasi-organisasi untuk itu, dan djuga untuk pengadjaran partikelir, dan mentjari dan mempunjai harta untuk maksud-maksud itu, diakui, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan terhadap itu menurut peraturan undang-undang. 
Pasal 32
Setiap orang jang didaerah Negara harus patuh kepada undang-undang termasuk aturan-aturan hukum jang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa. 
Pasal 33
Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan jang diterangkan dalam bagian ini hanja dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk mendjamin pengakuan dan penghormatan jang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi sjarat-sjarat jang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesedjahteraan dalam suatu masjarakat jang demokratis. 
Pasal 34
Tiada suatu ketentuanpun dalam bagian ini boleh ditafsirkan dengan pengertian, sehingga sesuatu penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak dari padanja untuk mengusahakan sesuatu apa atau melakukan perbuatan berupa apapun jang bermaksud menghapuskan sesuatu hak atau kebebasan jang diterangkan dalamnja. 
BAGIAN VI
Azas-azas dasar 
Pasal 35
Kemauan Rakjat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinjatakan dalam pemilihan berkala jang djudjur dan jang dilakukan menurut hak-pilih jang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara jang rahasia ataupun menurut tiara jang djuga mendjamin kebebasan mengeluarkan suara. 
Pasal 36
Penguasa memadjukan kepastian dan djaminan sosial, teristimewa pemastian dan pendjaminan sjarat-sjarat perburuhan dan keadaan-keadaan perburuhan jang baik, pentjegahan dan pemberantasan pengangguran serta penjelenggaraan persediaan untuk hari-tua dan pemeliharaan djanda-djanda dan anak-jatim-piatu. 
Pasal 37
1.        Penguasa terus-menerus rnenjelenggarakan usaha untuk meninggikan kemakmuran rakjat• dan berkewadjiban senantiasa mendjamin bagi setiap orang deradjat hidup jang sesuai dengan martabat manusia untuk dirinja serta keluarganja.
2.        Dengan tidak mengurangi pembatasan jang ditentukan untuk kepentingan umum dengan peraturan-peraturan undang-undang, maka. kepada sekalian orang diberikan kesempatan menurut sifat, bakat dan ketjakapan masing-masing untuk turut-serta dalam perkembangan sumber-sumber kemakmuran
3.        Penguasa mentjegah adanja organisasi-organisasi jang bersifat monopoli partikelir jang merugikan ekonomi nasional menurut peraturan-peraturan jang ditetapkan dengan undang-undang. 
Pasal 38
1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2.      Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara.
3.      Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat. 
Pasal 39
1.        Keluarga berhak atas perlindungan oleh masjarakat dan Negara.
2.        Fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara. 
Pasal 40
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan mendjundjung azas ini maka penguasa memadjukan sekuat tenaganja perkembangan kebangsaan dalam kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. 
Pasal 41
1.        Penguasa wadjib memadjukan perkembangan rakyat baik rohani maupun djasmani.
2.        Penguasa teistimewa berusaha selekas-lekasnya menghapuskan buta-huruf.
3.        Penguasa memenuhi kebutuhan akan pengadjaran umum jang diberikan atas dasar memperdalam keinsjafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan peri-kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan jang sama terhadap kejakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam djam peladjaran untuk mengadjarkan peladjaran agama sesuai dengan keinginan orang-tua murid-murid.
4.        Terhadap pengadjaran rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan dengan lekas kewadjiban beladjar jang umum.
5.        Murid-murid sekolah partikelir jang memenuhi sjarat-sjarat kebaikan-kebaikan menurut undang-undang bagi pengadjaran umum, sama haknja dengan hak murid-murid sekolah umum. 

Pasal 42
Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh memadjukan kebersihan umum dan kesehatan rakjat. 
Pasal 43
1.        Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Jang Maha Esa.
2.        Negara mendjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanja masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanja dan kepertjajaannja itu.
3.        Penguasa memberi perlindungan jang sama kepada segala perkumpulan dan pesekutuan agama jang diakui.
4.        Pemberian sokongan berupa apapun oleh penguasa kepada pedjabat-pedjabat agama dan persekutuan-persekutuan atau perkumpulan-perkumpulan agama dilakukan atas dasar sama hak.
5.        Penguasa mengawasi supaja segala persekutuan dan perkumpulan agama patuh-taat kepada undang-undang, termasuk aturan-aturan hukum jang tak tertulis. 
BAB II
Alat-alat perlengkapan negara 
Ketentuan umum
Pasal 44
Alat-alat perlengkapan Negara ialah:
1.        Presiden dan Wakil Presiden;
2.        Menteri-menteri;
3.        Dewan Perwakilan Rakjat;
4.        Mahkamah Agung;
5.        Dewan Pengawas Keuangan. 
BAGIAN I
Pemerintah
 Pasal 45
1.      Presiden ialah Kepala Negara.
2.      Dalam melakukan kewadjibannya Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden.
3.      Presiden dan Wakil-Presiden dipilih menurut aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
4.      Untuk pertama kali Wakil-Presiden diangkat oleh Presiden dari andjuran jang dimadjukan oleh Dewan Perwakilan Rakjat.
5.      Presiden dan Wakil-Presiden harus warga-negara Indonesia jang telah berusia 30 tahun dan tidak boleh orang jang tidak diperkenankan serta dalam atau mendjalankan hak-pilih ataupun orang jang telah ditjabut haknja untuk dipilih. 
Pasal 46
1.      Presiden dan Wakil-Presiden berkedudukan ditempat kedudukan Pemerintah.
2.      Pemerintah berkedudukan di Djakarta, ketjuali djika dalam hal darurat Pemerintah menentukan tempat jang lain.


Pasal 47
Presiden dan Wakil-Presiden sebelum memangku djabatan, mengangkat sumpah (menjatakan keterangan) menurut tjara agamanja dihadapan Dewan Perwakilan Rakjat, sebagai berikut:
Saja bersumpah (menerangkan) bahwa saja, untuk dipilih mendjadi Presiden (Wakil-Presiden) Republik Indonesia, langsung ataupun tak langsung, dengan nama atau dengan dalih apapun, tiada memberikan atau mendjandjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun djuga.
Saja bersumpah (berdjandji) bahwa saja untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam djabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima dari siapapun djuga, langsung ataupun tak langsung sesuatu djandji atau pemberian.
Saja bersumpah (berdjandji) bahwa saja dengan sekuat tenaga akan memadjukan kesedjahteraan Republik Indonesia dan bahwa saja akan melindungi dan mempertahankan kebebasan-kebebasan dan hak-hak umum dan chusus sekalian penghuni Negara.
Saja bersumpah (berdjandji) setia kepada Undang-undang Dasar dan lagi bahwa saja akan memelihara segala peraturan jang berlaku bagi Republik Indonesia, bahwa saja akan setia kepada Nusa dan Bangsa dan bahwa saja dengan setia akan memenuhi segala kewadjiban jang ditanggungkan kepada saja oleh djabatan Kepala Negara (Wakil-Kepala Negara) Republik Indonesia, sebagai sepantasnja bagi Kepala Negara (Wakil-Kepala Negara) jang baik".


Pasal 48
Djika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewadjibannja dalam masa djabatannja, ia diganti oleh Wakil-Presiden sampai habis waktunja. 
Pasal 49
Jang dapat diangkat mendjadi Menteri jalah warga-negara Indonesia jang telah berusia 25 tahun dan jang bukan orang jang tidak diperkenankan serta dalam atau mendjalankan hak-pilih ataupun orang jang telah ditjabut haknya untuk dipilih. 
Pasal 50
Presiden membentuk Kementerian-kementerian 
Pasal 51.
1.        Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk Kabinet.
2.        Sesuai dengan andjuran pembentuk Kabinet itu, Presiden mengangkat seorang dari padanja mendjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-menteri jang lain.
3.        Sesuai dengan andjuran pembentuk itu djuga, Presiden menetapkan siapa-siapa dari Menteri-menteri itu diwadjibkan memimpin Kementerian masing-masing.
4.        Presiden boleh mengangkat Menteri-menteri jang tidak memangku sesuatu kementerian.
5.        Keputusan-keputusan Presiden jang memuat pengangkatan jang diterangkan dalam ajat 2 atau 3 pasal ini ditandatangani serta oleh pembentuk Kabinet.
6.        Pengangkatan atau penghentian antara-waktu Menteri-menteri begitu pula penghentian Kabinet dilakukan dengan keputusan Presiden.

Pasal 52
1.        Untuk merundingkan bersama-sama kepentingan-kepentingan umum Republik Indonesia, Menteri-menteri bersidang dalam Dewan Menteri jang diketuai oleh Perdana Menteri atau dalam hal Perdana Menteri berhalangan, oleh salah seorang Menteri jang ditundjuk oleh Dewan Menteri.
2.        Dewan Menteri senantiasa memberitahukan segala urusan jang penting kepada Presiden dan Wakil-Presiden. Masing-masing Menteri berkewadjiban demikian djuga berhubung dengan urusan-urusan jang chusus masuk tugasnja.

Pasal 53
Sebelum memangku djabatannya, Menteri-menteri mengangkat sumpah (menjatakan keterangan) dihadapan Presiden menurut tjara agamanja, sebagai berikut:
Saja bersumpah (menerangkan) bahwa saja, untuk diangkat mendjadi Menteri, langsung ataupun tak langsung dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau mendjandjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun djuga.
Saja bersumpah (berdjandji) bahwa saja, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam djabatan ini, tiada sekali-kali menerima dari siapapun djuga, langsung ataupun tak langsung sesuatu djandji atau pemberian.
Saja bersumpah (berdjandji) setia kepada Undang-undang Dasar, bahwa saja akan memelihara segala peraturan jang berlaku bagi Republik Indonesia, bahwa saja dengan sekuat tenaga akan mengusahakan kesedjahteraan Republik Indonesia, bahwa saja akan setia kepada Nusa dan Bangsa dan bahwa saja akan memenuhi dengan setia segala kewadjiban jang ditanggungkan kepada saja oleh djabatan Menteri".
Pasal 54
Gadji Presiden, gadji Wakil-Presiden dan gadji Menteri-menteri, begitu pula ganti rugi untuk biaja perdjalanan dan biaja penginapan dan, djika ada, ganti-rugi jang lain-lain, diatur dengan undang-undang. 
Pasal 55
1.        Djabatan Presiden, Wakil-Presiden dan Menteri tidak boleh dipangku bersama-sama dengan mendjalankan djabatan umum apapun didalam dan
2.      Presiden, Wakil-Presiden dan Menteri-menteri tidak boleh, langsung atau tak langsung turut-serta dalam ataupun mendjadi penanggung untuk sesuatu badan perusahaan jang berdasarkan perdjandjian untuk memperoleh laba atau untung jang diadakan dengan Republik Indonesia atau dengan sesuatu daerah autonoom dari Indonesia.
3.      Mereka tidak boleh mempunjai piutang atas tanggungan Republik Indonesia, ketjuali surat-surat utang umum.
4.      Jang ditetapkan dalam ajat 2 dan 3 pasal ini tetap berlaku atas mereka selama tiga tahun sesudah mereka meletakkan djabatannja. 
BAGIAN II
Dewan Perwakilan Rakjat 
Pasal 56
Dewan Perwakilan Rakjat mewakili seluruh Rakjat Indonesia dan terdiri sedjumlah Anggauta jang besarnja ditetapkan berdasar atas perhitungan setiap 300.000 djiwa penduduk warga-negara Indonesia mempunjai seorang wakil; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam ajat kedua pasal 58.
Pasal 57
Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat dipilih dalam suatu pemilihan umum oleh warga-negara Indonesia jang memenuhi sjarat-sjarat dan menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang. 
Pasal 58
1.        Golongan-golongan ketjil Tionghoa, Eropah dan Arab akan mempunjai wakil dalam Dewan Perwakilan Rakjat dengan berturut-turut sekurang-kurangnya 9, 6 dan 3 Anggauta.
2.        Djika djumlah-djumlah itu tidak tertjapai dengan pemilihan menurut undang-undang termaksud dalam pasal 57, maka Pemerintah Republik Indonesia mengangkat wakil-wakil tambahan bagi golongan-golongan ketjil itu. Djumlah Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat sebagai tersebut dalam pasal 56 ditambah dalam hal itu djika perlu dengan djumlah pengangkatan-pengangkatan itu. 
Pasal 59
Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat dipilih untuk masa empat tahun. Mereka meletakkan djabatannya bersama-sama dan sesudahnya dapat dipilih kembali. 
Pasal 60
Jang boleh menjadi Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat ialah warga-negara jang telah berusia 25 tahun dan bukan orang jang tidak diperkenankan serta dalam atau mendjalankan hak-pilih ataupun orang jang haknya untuk dipilih telah ditjabut.

Pasal 61
1.        Keanggautaan Dewan Perwakilan Rakjat tidak dapat dirangkap dengan djabatan Presiden, Wakil-Presiden, Djaksa Agung, Ketua, Wakil-Ketua atau Anggauta Mahkamah Agung, Ketua, Wakil-Ketua atau Anggauta Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank-Sirkulasi dan djabatan-djabatan lain jang ditentukan dengan undang-undang.
2.        Seorang Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat jang merangkap mendjadi Menteri tidak boleh mempergunakan hak atau kewajibannja sebagai Anggauta badan tersebut selama ia memangku djabatan Menteri.
3.        Anggauta Angkatan Perang dalam dinas aktif jang menerima keanggautaan Dewan Perwakilan Rakjat, dengan sendirinya mendjadi non-aktif selama keanggautaan itu. Setelah berhenti mendjadi Anggauta, ia kembali dalam dinas-aktif lagi. 
Pasal 62
1.        Dewan Perwakilan Rakjat memilih dari, antaranja seorang Ketua dan seorang atau beberapa orang Wakil-Ketua. Pemilihan-pemilihan ini membutuhkan pengesahan Presiden.
2.        Selama pemilihan Ketua dan Wakil-Ketua belum disahkan oleh Presiden, rapat diketuai untuk sementara oleh Anggauta jang tertua umurnja. 
Pasal 63
Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat sebelum memangku djabatannja, mengangkat sumpah (meratakan keterangan) dihadapan Presiden atau Ketua Dewan Perwakilan Rakjat jang dikuasakan untuk itu oleh Presiden, menurut tjara agamanja sebagai berikut:
Saja bersumpah (menerangkan) bahwa saja, untuk dipilih (diangkat) mendjadi Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat, langsung atau tak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau mendjandjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun djuga.
Saja bersumpah (berdjandji) bahwa saja, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam djabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima, langsung ataupun tak langsung, dari siapapun djuga sesuatu djandji atau pemberian.
Saja bersumpah (berdjandji), bahwa saja senantiasa akan membantu memelihara Undang-undang Dasar dan segala peraturan jang lain berlaku bagi Republik Indonesia, bahwa saja akan berusaha dengan sekuat tenaga memadjukan kesedjahteraan Republik Indonesia dan bahwa saja akan setia kepada Nusa dan Bangsa". 
Pasal 64
Dalam rapat Dewan Perwakilan Rakjat Ketua memberi kesempatan berbitjara kepada Menteri-menteri, apabila dan tiap-tiap kali mereka mengingininja. 
Pasal 65
1.        Dewan Perwakilan Rakjat bersidang, apabila Pemerintah menjatakan kehendaknja tentang itu atau apabila Ketua atau sekurang-kurangnya sepersepuluh dari djumlah Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat menganggap hal itu perlu.
2.        Ketua memanggil rapat Dewan Perwakilan Rakjat.


Pasal 66
1.         Rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakjat terbuka untuk umum ketjuali djika Ketua menimbang perlu pintu ditutup ataupun sekurang-kurangnya sepuluh Anggauta menuntut hal itu.
2.         Sesudah pintu ditutup, rapat memutuskan apakah permusjawaratan dilakukan dengan pintu tertutup.
3.         Tentang hal-hal jang dibitjarakan dalam rapat tertutup dapat djuga diputuskan dengan pintu tertutup. 
Pasal 67
Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat setiap waktu boleh meletakkan djabatannja.
Mereka memberitahukan hal itu dengan surat kepada Ketua. 
Pasal 68
Dewan Perwakilan Rakjat mengadakan rapat-rapatnya di Djakarta ketjuali djika dalam hal-hal darurat Pemerintah menentukan tempat jang lain. 
Pasal 69
1.         Dewan Perwakilan Rakjat mempunjai hak interpelasi dan hak menanja; Anggauta-anggauta mempunyai hak menanja.
2.         Menteri-menteri memberikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat, baik dengan lisan maupun dengan tertulis, segala penerangan jang dikehendaki menurut ajat jang lalu dan jang pemberiannja dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum Republik Indonesia.
Pasal 70
Dewan Perwakilan Rakjat mempunjai hak menjelidiki (enquete), menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang. 
Pasal 71
Ketua dan Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat begitu pula Menteri-menteri tidak dapat dituntut dimuka pengadilan karena jang dikatakannja dalam rapat atau jang dikemukakannja dengan surat kepada madjelis itu, ketjuali djika mereka dengan itu mengumumkan apa jang dikatakan atau jang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan sjarat supaja dirahasiakan. 
Pasal 72
1.         Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat mengeluarkan suaranja sebagai orang jang bebas, menurut perasaan kehormatan dan keinsjafan batinnja, tidak atas perintah atau dengan kewadjiban berembuk dahulu dengan mereka jang menundjuknja sebagai anggauta.
2.         Mereka tidak mengeluarkan suara tentang hal jang mengenai dirinja sendiri. 
Pasal 73
Gadji Ketua Dewan Perwakilan Rakjat, tundjangan-tundjangan jang akan diberikan kepada Anggauta-anggauta dan mungkin djuga kepada Ketua, begitu pula biaja perdjalanan-4an penginapan jang harus didapatnja, diatur dengan undang-undang.



Pasal 74
1.         Sekalian orang jang menghadiri rapat Dewan Perwakilan Rakjat jang tertutup, wadjib merahasiakan jang dibitjarakan dalam rapat itu, ketjuali djika madjelis ini memutuskan lain, ataupun djika kewadjiban, merahasiakan itu dihapuskan.
2.         Hal itu berlaku djuga terhadap Anggauta-anggauta, Menteri-menteri dan pegawai-pegawai jang mendapat tahu dengan tjara bagaimanapun tentang jang dibitjarakan itu. 
Pasal 75
1.         Dewan Perwakilan Rakjat tidak boleh bermusjawarat atau mengambil keputusan, djika tidak hadir lebih dari seperdua djumlah anggauta-sidang.
2.         Sekedar dalam Undang-undang Dasar ini tidak ditetapkan lain, maka segala keputusan diambil dengan djumlah terbanjak mutlak suara jang dikeluarkan.
3.         Apabila, pada waktu mengambil keputusan, suara-suara sama berat, dalam hal rapat itu lengkap anggautanya, usul itu dianggap ditolak, atau dalam hal lain, mengambil keputusan ditangguhkan sampai rapat jang berikut. Apabila suara-suara sama berat lagi, maka usul itu dianggap ditolak.
4.         Pemungutan suara tentang orang dilakukan dengan rahasia dan tertulis. Apabila suara-suara sama berat, maka keputusan diambil dengan undian. 
Pasal 76
Dewan Perwakilan Rakjat selekas mungkin menetapkan peraturan ketertibannja. 
Pasal 77
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 138, maka untuk pertama kali selama Dewan Perwakilan Rakjat belum tersusun dengan pemilihan menurut undang-undang, Dewan Perwakilan Rakjat terdiri dari Ketua, Wakil-wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia Serikat, Ketua, Wakil-wakil Ketua dan Anggauta-anggauta. Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat dan Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta Dewan Pertimbangan Agung. 
BAGIAN III
Mahkamah Agung 
Pasal 78
Susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung diatur dengan undang-undang. 
Pasal 79
1.        Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta Mahkamah Agung diangkat menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
Pengangkatan itu adalah untuk seumur hidup; ketentuan ini tidak mengurangi  jang ditetapkan dalam ajat-ajat jang berikut.
2.        Undang-undang dapat menetapkan bahwa Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta anggauta Mahkamah Agung diberhentikan, apabila mentjapai usia jang
3.        Mereka dapat dipetjat atau diberhentikan menurut tjara dan dalam hal jang ditentukan oleh undang-undang.
4.        Mereka dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri. 



BAGIAN IV
Dewan Pengawas Keuangan 
Pasal 80
Susunan dan kekuasaan Dewan Pengawas Keuangan diatur dengan undang-undang. 
Pasal 81
1.        Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta Dewan Pengawas Keuangan diangkat menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pengangkatan itu adalah seumur hidup; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam ajat-ajat jang berikut.
2.        Undang-undang dapat menetapkan, bahwa Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta-anggauta diberhentikan, apabila mentjapai usia jang tertentu.
3.        Mereka dapat dipetjat atau diberhentikan menurut tjara dan dalam hal jang ditentukan dengan undang-undang.
4.        Mereka dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri.






BAB III
Tugas alat-alat perlengkapan negara 
BAGIAN I
Pemerintahan 
Pasal 82
Pemerintah menjelenggarakan kesedjahteraan Indonesia dan teristimewa berusaha supaja Undang-undang Dasar, undang-undang dan peraturan-peraturan lain didjalankan. 
Pasal 83
1.        Presiden dan Wakil-Presiden tidak dapat diganggu-gugat.
2.        Menteri-menteri bertanggung-djawab atas seluruh kebidjaksanaan, Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnja, maupun masing-masing untuk bagiannja sendiri-sendiri. 
Pasal 84
Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakjat.
Keputusan Presiden jang menjatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakjat baru dalam 30 hari. 
Pasal 85
Sekalian keputusan I residen djuga jang mengenai kekuasaannja atas Angkatan Perang Republik Indonesia, ditanda tangani serta oleh Menteri (Menteri-menteri) jang bersangkutan, ketjuali jang ditetapkan dalam pasal 45 ajat ke-empat dan pasal 51 ajat ke-empat. 
Pasal 86
Pegawai-pegawai Republik Indonesia diangkat menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang. 
Pasal 87
Presiden memberikan tanda-tanda kehormatan jang diadakan dengan undang-undang. 
Pasal 88
Peraturan pokok mengenai perhubungan didarat, laut dan udara ditetapkan dengan undang-undang. 
BAGIAN II
Perundang-undangan 
Pasal 89
Ketjuali apa jang ditentukan dalam pasal 140 maka kekuasaan perundang-undangan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat. 
Pasal 90
1.        Usul Pemerintah tentang undang-undang disampaikan kepada Dewan -Perwakilan Rakjat dengan amanat Presiden.
2.        Dewan Perwakilan Rakjat berhak memadjukan usul undang-undang kepada Pemerintah. 
Pasal 91
Dewan Perwakilan Rakjat berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul undang-undang jang dimadjukan oleh Pemerintah kepadanja. 
Pasal 92
1.        Apabila Dewan Perwakilan Rakjat menerima usul undang-undang Pemerintah dengan mengubahnja ataupun tidak, maka usul itu dikirimkannja dengan memberitahukan hal itu, kepada Presiden.
2.        Apabila Dewan Perwakilan Rakjat menolak usul undang-undang Pemerintah, maka hal itu diberitahukannja kepada Presiden. 
Pasal 93
Dewan Perwakilan Rakjat, apabila memutuskan akan memadjukan usul undang-undang, mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh Pemerintah kepada Presiden. 
Pasal 94
1.        Selama suatu usul undang-undang belum diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat sesuai dengan ketentuan-ketentuan jang lalu dalam bagian ini, maka usul itu dapat ditarik kembali oleh Pemerintah.
2.        Pemerintah harus mengesahkan usul undang-undang jang sudah diterima, ketjuali djika ia dalam satu bulan sesudah usul itu disampaikan kepadanja untuk disahkan, menjatakan keberatannja jang tak dapat dihindarkan.
3.        Pengesahan oleh Pemerintah, ataupun keberatan Pemerintah sebagai dimaksud dalam ajat jang lalu, diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakjat dengan amanat Presiden. 
Pasal 95
1.        Sekalian usul undang-undang jang telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat memperoleh kekuatan undang-undang, apabila sudah disahkan oleh Pemerintah.
2.        Undang-undang tidak dapat diganggu-gugat.
Pasal 96
1.        Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung-djawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan-pemerintahan jang karena keadaan-keadaan jang mendesak perlu diatur dengan segera.
2.        Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan deradjat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut. 
Pasal 97
1.        Peraturan-peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat, sesudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat selambat-lambatnya pada sidang tang berikut jang merundingkan peraturan ini menurut jang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang Pemerintah.
2.        Djika suatu peraturan jang dimaksud dalam ajat jang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakjat, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum.
3.        Djika undang-undang darurat jang menurut ajat jang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat jang timbul dari peraturannja - baik jang dapat dipulihkan maupun jang tidak - maka undang-undang mengadakan tindakan-tindakan jang perlu tentang itu.
4.        Djika peraturan jang termaktub dalam undang-undang darurat itu diubah dan ditetapkan sebagai undang-undang, maka akibat-akibat perubahannja diatur pula sesuai dengan jang ditetapkan dalam ajat jang lalu. 
Pasal 98
1.        Peraturan-peraturan penjelenggara undang-undang ditetapkan oleh Pemerintah. Namanja ialah peraturan Pemerintah.
2.        Peraturan Pemerintah dapat mengantjamkan hukuman-hukuman atas pelanggaran aturan-aturannja. Batas-batas hukuman jang akan ditetapkan diatur dengan undang-undang. 
3.        Undang-undang dan peraturan Pemerintah dapat memerintahkan kepada alat-alat perlengkapan lain dalam Republik Indonesia mengatur selandjutnya pokok-pokok jang tertentu jang diterangkan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan itu.
4.        Undang-undang dan peraturan Pemerintah jang bersangkutan memberikan aturan-aturan tentang pengundangan peraturan-peraturan demikian. 
Pasal 100
1.        Undang-undang mengadakan aturan-aturan tentang membentuk, mengundangkan dan mulai berlakunja undang-undang dan peraturan-peraturan Pemerintah.
2.        Pengundangan, terdjadi dalam bentuk menurut undang-undang, adalah sjarat tunggal untuk kekuatan mengikat.


BAGIAN III
Pengadilan 
Pasal 101
1.        Perkara perdata, perkara pidana sipil dan perkara pidana militer semata-mata masuk perkara jang diadili oleh pengadilan-pengadilan jang diadakan atau diakui dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang.
2.        Mengangkat dalam djabatan pengadilan jang diadakan dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang, didasarkan semata-mata pada sjarat kepandaian, ketjakapan dan kelakuan tak-bertjela jang ditetapkan dengan undang-undang.
3.      Memberhentikan, memetjat untuk sementara dan memetjat dari djabatan jang demikian hanja boleh dalam hal-hal jang ditentukan dengan undang-undang. 
Pasal 102
Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana militer, hukum atjara perdata dan hukum atjara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab hukum ketjuali djil pengundng-undang menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri. 
Pasal 103
Segala tjampur tangan dalam urusan pengadilan oleh alat-alat perlengkapan jang bukan perlengkapan pengadilan, dilarang, ketjuali djika di-idzinkan. oleh undang-undang.

Pasal 104
1.        Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannja dan dalam perkara hukuman menjebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat jang didjadikan dasar hukuman itu.
2.        Lain dari pada pengetjualian-pengetjualian jang ditetapkan oleh- undang-undang, sidang pengadilan terbuka untuk umum.
3.        Untuk ketertiban dan kesusilaan umum, hakim boleh menjimpang dari peraturan ini.
4.        Keputusan senantiasa dinjatakan dengan pintu terbuka. 
Pasal 105
1.        Mahkamah Agung ialah Pengadilan Negara Tertinggi.
2.        Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan jang lain, menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
3.        Dalam hal-hal jang ditundjuk dengan undang-undang, terhadap keputusan-keputusan jang diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung. 
Pasal 106
1.        Presiden, Wakil-Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat, Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta Mahkamah Agung, Djaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil-Ketua, dan Anggauta Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank-Sirkulasi dan djuga pegawai-pegawai, anggauta-anggauta madjelis-madjelis tinggi dan pedjabat-pedjabat lain jang ditundjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi djuga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kedjahatan dan pelanggaran jabatan serta kedjahatan dan pelanggaran lain jang ditentukan dengan undang-undang dan jang dilakukannja dalam masa pekerdjaannja, ketjuali djika ditetapkan lain dengan undang-undang.
2.        Dengan undang-undang dapat ditetapkan bahwa perkara perdata dan perkara pidana; sipil terhadap golongan-golongan orang dan badan jang tertentu hanja boleh diadili oleh pengadilan jang ditundjuk dengan undang-undang itu.
3.        Dengan undang-undang dapat ditetapkan bahwa perkara jang mengenai peraturan-peraturan jang diadakan dengan atau atas kuasa undang-undang hanja boleh diadili oleh pengadilan jang ditundjuk dengan undang-undang itu. 
Pasal 107
1.        Presiden mempunjai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman jang didjatuhkan oleh keputusan pengadilan.
Hak itu dilakukannja sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung, sekadar dengan undang-undang tidak ditundjuk pengadilan jang lain untuk memberi nasehat.
2.        Djika hukuman mati didjatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat didjalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberi grasi.
3.        Amnesti dan abolisi hanja dapat diberikan dengan undang-undang ataupun atas kuasa undang-undang, oleh Presiden sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung. 


Pasal 108
Pemutusan tentang sengketa jang mengenai hukum tata-usaha diserahkan kepada pengadilan jang mengadili perkara perdata ataupun kepada alat-alat perlengkapan lain, tetapi djika demikian seboleh-bolehnja dengan djaminan jang serupa tentang keadilan dan kebenaran. 
BAGIAN IV
Keuangan 
Babakan 1
Hal uang 
Pasal 109
1.        Diseluruh daerah Republik Indonesia hanja diakui sah alat-alat pembajar jang aturan-aturan pengeluarannja ditetapkan dengan undang-undang.
2.        Satuan-hitung untuk menjatakan jang alat-alat pembajar sah itu ditetapkan dengan undang-undang.
3.        Undang-undang mengakui sah alat-alat pembajar baik hingga djumlah jang tak terbatas maupun hingga djumlah terbatas jang ditentukan untuk itu.
4.        Pengeluaran alat-alat pembajar jang sah dilakukan oleh atau atas nama pemerintah Republik Indonesia ataupun oleh Bank-Sirkulasi. 
Pasal 110
1.        Untuk Indonesia ada satu Bank-Sirkulasi.
2.        Penundjukan sebagai Bank-Sirkulasi dan Pengaturan tataan dan kekuasaannja dilakukan dengan undang-undang.
Babakan 2
Urusan Keuangan - Anggaran - Pertanggungan djawab - Gadji. 
Pasal 111
1.        Pemerintah memegang urusan umum keuangan.
2.        Keuangan negara dipimpin dan dipertanggung-djawabkan menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang. 
Pasal 112
1.        Pengawasan atas dan pemeriksaan tanggung-djawab tentang keuangan negara dilakukan oleh Dewan Pengawas Keuangan.
2.        Hasil pengawasan dan pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakjat. 
Pasal 113
Dengan undang-undang ditetapkan anggaran semua pengeluaran Republik Indonesia dan ditundjuk pendapatan-pendapatan untuk menutup pengeluaran itu. 
Pasal 114
1.        Usul undang-undang penetapan anggaran umum oleh Pemerintah dimadjukan kepada Dewan Perwakilan Rakjat sebelum permulaan masa jang berkenaan dengan anggaran itu. Masa itu tidak boleh lebih dari dua tahun.
2.        Usul undang-undang pengubah anggaran umum, tiap-tiap kali djika dimadjukan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakjat.

Pasal 115
1.        Anggaran terdiri dari bagian-bagian jang masing-masing sekadar perlu, dibagi dalam dua bab, jaitu satu untuk mengatur pengeluaran-pengeluaran dan satu lagi untuk menundjuk pendapatan-pendapatan.
Bab-bab terbagi dalam pos-pos.
2.        Untuk tiap-tiap kementerian anggaran sedikit-dikitnja memuat satu bagian.
3.        Undang-undang penetapan anggaran masing-masing memuat tidak lebih dari satu bagian.
4.        Dengan undang-undang dapat di-izinkan permindahan. 
Pasal 116
Pengeluaran dan penerimaan Republik Indonesia dipertanggung-djawabkan kepada Dewan Perwakilan Rakjat, sambil memadjukan perhitungan jang disahkan oleh Dewan Pengawas Keuangan, menurut aturan-aturan jang diberikan dengan undang-undang. 
Pasal 117
Tidak diperkenankan r!iemungut padjak, bea dan tjukai untuk kegunaan kas negara, ketjuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang. 
Pasal 118
1.        Pindjaman uang atas tanggunan Republik Indonesia tidak dapat diadakan, didjamin atau disahkan, ketjuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang.
2.        Pemerintah berhak, dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang, mengeluarkan biljet-biljet perbendaharaan dan promes-promes perbendaharaan. 
Pasal 119
1.        Dengan tidak mengurangi jang diatur dengan ketentuan-ketentuan chusus, gadji-gadji dan lain-lain pendapatan anggauta madjelis-madjelis dan pegawai-pegawai Republik Indonesia ditentukan oleh Pemerintah, dengan mengindahkan aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang dan menurut azas, bahwa dari djabatan tidak boleh diperoleh keuntungan lain dari pada jang dengan tegas diperkenankan.
2.        Undang-undang dapat memperkenankan pemindahan kekuasaan jang diterangkan dalam ajat 1 kepada alat-alat perlengkapan lain jang berkuasa.
3.        Pemberian pensiun kepada pegawai-pegawai Republik Indonesia diatur dengan undang-undang. 
BAGIAN V
Hubungan luar negeri 
1.        Presiden mengadakan dan mengesahkan perdjandjian (traktat) dan persetudjuan lain dengan Negara-negara lain.
Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang, perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetudjui dengan undang-undang.
2.        Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain, dilakukan oleh Presiden hanja dengan kuasa undang-undang.
Pasal 121
Berdasarkan perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 120, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia kedalam organisasi-organisasi antara negara. 
Pasal 122
Pemerintah berusaha memetjahkan perselisihan-perselisihan dengan Negara-negara lain dengan djalan damai dan dalam hal itu memutuskan pula tentang meminta ataupun tentang menerima pengadilan atau pewasitan antara negara. 
Pasal 123
Presiden mengangkat wakil-wakil Republik Indonesia pada Negara-negara lain dan menerima wakil Negara-negara lain pada Republik Indonesia. 
BAGIAN VI
Pertahanan negara dan keamanan umum 
Pasal 124
Undang-undang menetapkan aturan-aturan tentang hak dan kewajiban warga-negara untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan membela daerahnja.
Ia mengatur tjara mendjalankan hak dan kewadjiban itu dan menentukan pengetjualiannya.


Pasal 125
1.        Angkatan Perang Republik Indonesia bertugas melindungi kepentingan-kepentingan negara Republik Indonesia.
Angkatan Perang itu dibentuk dari mereka jang sukarela masuk Angkatan Perang dan mereka jang wadjib masuk Angkatan Perang.
2.        Undang-undang mengatur segala sesuatu mengenai Angkatan Perang Tetap dan wadjib-militer. 
Pasal 126
1.        Pemerintah memegang urusan pertahanan.
2.        Undang-undang mengatur dasar-dasar susunan dan tugas alat perlengkapan jang diberi kewadjiban menjelenggarakan pertahanan pada umumnja. 
Pasal 127
1.        Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Perang Republik Indonesia.
2.        Dalam keadaan perang Pemerintah menempatkan Angkatan Perang dibawah pimpinan seorang Panglima Besar.
3.        Opsir-opsir diangkat, dinaikkan pangkat dan diperhentikan oleh atau atas nama Presiden, menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 128
Presiden tidak menjatakan perang, melainkan djika hal itu diizinkan lebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakjat. 
Pasal 129
1.        Dengan tjara dan dalam hal-hal jang akan ditentukan dengan undang-undang, Presiden dapat menjatakan daerah Republik Indonesia atau bagian-bagian dari padanja dalam keadaan bahaja, bilamana ia menganggap hal itu perlu untuk kepentingan keamanan dalam negeri dan keamanan terhadap
2.        Undang-undang mengatur tingkatan-tingkatan keadaan bahaja dan akibat-akibat pernjataan demikian itu dan seterusnja menetapkan bilamana kekuasaan alat-alat perlengkapan kuasa sipil jang berdasarkan Undang-undang Dasar tentang ketertiban umum dan polisi, seluruhnnja atau sebagian beralih kepada kuasa Angkatan Perang, dan bahwa penguasa-penguasa sipil takluk kepada penguasa-penguasa Angkatan Perang. 
Pasal 130
Untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum diadakan suatu alat kekuasaan kepolisian jang diatur dengan undang-undang.




BAB IV
Pemerintah Daerah dan Daerah-daerah Swapradja

Pasal 131
1.        Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan ketjil jang berhak mengurus rumah tangganja sendiri (autonoom), dengan bentuk susunan pemerintahannja ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusjawaratan dan dasar perwakilan dalam sistim pemerintahan negara.
2.        Kepada daerah-daerah diberikan autonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganja sendiri.
3.        Dengan undang-undang dapat diserahkan penjelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah jang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganja. 
Pasal 132
1.        Kedudukan daerah-daerah Swapradja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannja harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasar-dasar permusjawaratan dan perwakilan dalam sistim pemerintahan negara.
2.        Daerah-daerah Swapradja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperketjil bertentangan dengan kehendaknja, ketjuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang jang menjatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan dan pengetjilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah.
3.        Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan jang dimaksud dalam ajat 1 dan tentang mendjalankannja diadili oleh badan pengadilan jang dimaksud dalam pasal 108.


Pasal 133
Sambil menunggu ketentuan-ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 132 maka peraturan-peraturan jang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa penjabat-pendjabat daerah bagian dahulu jang tersebut dalam peraturan-peraturan itu diganti dengan pendjabat-pendjabat jang demikian pada Republik Indonesia. 
BAB V
Konstituante 
Pasal 134
Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnja menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia jang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini. 
Pasal 135
1.         Konstituante terdiri dari sedjumlah Anggauta jang besarnja ditetapkan berdasar atas perhitungan setiap 150.000 djiwa penduduk warga-negara Indonesia mempunjai seorang wakil.
2.         Anggauta-anggauta Konstituante dipilih oleh warga-negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan tjara bebas dan rahasia menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang.
3.         Ketentuan-ketentuan dalam pasal 58 berlaku buat konstituante dengan pengertian bahwa djumlah-djumlah wakil itu dua kali lipat.
Pasal 136
Jang ditetapkan dalam pasal 60, 61, 62, 63, 64, 67, 68, 71, 73, 74, 75 ajat 3 dan 4, dan pasal 76 berlaku demikian djuga bagi Konstituante. 
Pasal 137
1.         Konstituante tidak dapat bermupakat atau mengambil keputusan tentang rantjangan Undang-undang Dasar baru, djika pada rapatnja tidak hadir sekurang-kurangnja dua-pertiga dari djumlah anggauta sidang.
2.         Undang-undang Dasar baru berlaku, djika rantjangannja telah diterima dengan sekurang-kurangnja dua-pertiga dari djumlah suara Anggauta jang hadir dan kemudian disahkan oleh Pemerintah.
3.         Apabila Konstituante sudah menerima rantjangan Undang-undang Dasar, maka dikirimkannja rantjangan itu kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah.
Pemerintah mengesahkan rantjangan itu dengan segera.
Pemerintah mengumumkan Undang-undang Dasar itu dengan keluhuran. 
Pasal 138
1.         Apabila pada waktu Konstituante terbentuk belum diadakan pemilihan Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat menurut aturan-aturan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 57, maka Konstituante merangkap mendjadi Dewan Perwakilan Rakjat jang tersusun menurut aturan-aturan jang dimaksud dalam pasal tersebut.
2.         Pekerdjaan sehari-hari Dewan Perwakilan Rakjat, jang karena ketentuan dalam ajat I pasal ini mendjadi tugas Konstituante, dilakukan oleh sebuah Badan Pekerdja jang dipilih oleh Konstituante diantara Anggauta-anggautanja dan jang bertanggungdjawab kepada Konstituante. 
Pasal 139
1.         Badan Pekerdja terdiri dari Ketua Konstituante sebagai Anggauta merangkap Ketua dan sedjumlah Anggauta jang besarnja ditetapkan berdasar alas perhitungan setiap 10 Anggauta Konstituante mempunjai seorang wakil.
2.         Pemilihan Anggauta-anggauta Badan Pekerdja jang bukan Ketua dilakukan menurut aturan-aturan jang ditentukan dengan undang-undang.
3.         Badan Pekerdja memilih dari antaranja seorang atau beberapa orang Wakil Ketua. Aturan dalam pasal 62 berlaku untuk pemilihan ini.
4.         Anggauta-anggauta Badan Pekerdja sebelum memangku djabatannja, mengangkat sumpah (menjatakan keterangan) di hadapan Ketua Konstituante menurut tjara agamanja, jang bunjinja sebagaimana jang ditentukan dalam pasal 63.




BAB VI
Perubahan, ketentuan-ketentuan peralihan dan ketentuan penutup

BAGIAN I
Perubahan

Pasal 140
1.         Segala usul untuk mengubah Undang-undang Dasar ini menundjuk dengan tegas perubahan jang diusulkan.
Dengan undang-undang dinjatakan bahwa untuk mengadakan perubahan sebagaimana diusulkan itu, ada dasarnja.
2.         Usul perubahan Undang-undang Dasar, jang telah dinjatakan dengan undang-undang itu oleh Pemerintah dengan amanat Presiden disampaikan kepada suatu Badan bernama Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar, jang terdiri dari Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat Sementara dan Anggauta-anggauta Komite Nasional Pusat jang tidak mendjadi Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat Sementara.
Ketua dan Wakil-Ketua Dewan Perwakilan Rakjat Sementara mendjadi Ketua dan Wakil-Ketua Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar.
3.         Jang ditetapkan dalam pasal 66, 72, 74, 75, 91, 92 dan 94 berlaku demikian djuga bagi Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar.
4.         Pemerintah harus dengan segera mengesahkan rantjangan perubahan Undang-undang Dasar jang telah diterima oleh Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar.

Pasal 141
1.         Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan umum tentang membentuk dan mengundangkan undang-undang, maka perubahan-perubahan dalam Undang-undang Dasar diumumkan oleh Pemerintah dengan keluhuran.
2.         Naskah Undang-undang Dasar jang diubah itu diumumkan sekali lagi oleh Pemerintah setelah, sekadar perlu, bab-babnja, bagian-bagian tiap-tiap bab dan pasal-pasalnja diberi nomor berturut dan penundjukan-penundjukkannja diubah.
3.         Alat-alat perlengkapan berkuasa jang sudah ada dan peraturan-peraturan serta keputusan-keputusan jang berlaku pada saat suatu perubahan dalam Undang-undang Dasar mulai berlaku, dilandjutkan sampai diganti dengan jang lain menurut Undang-undang Dasar, ketjuali djika melandjutkannja itu berlawanan dengan ketentuan-ketentuan baru dalam Undang-undang Dasar jang tidak memerlukan peraturan undang-undang atau tindakan-tindakan penglaksanaan jang lebih landjut. 
BAGIAN II
Ketentuan-ketentuan peradilan 
Pasal 142
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha jang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak ditjabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha atas kuasa Undang-undang Dasar ini.

Pasal 143
Sekadar hal itu belum ternjata dari ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasar ini, maka undang-undang menentukan alat-alat perlengkapan Republik Indonesia jang mana akan mendjalankan tugas dan kekuasaan alat-alat perlengkapan jang mendjalankan tugas dan kekuasaan itu sebelum tanggal 17 Agustus 1950, ja'ni atas dasar perundang-undangan jang masih tetap berlaku karena pasal 142. 
Pasal 144
Sambil menunggu peraturan kewarga-negaraan dengan undang-undang jang tersebut dalam pasal 5 ajat 1, maka jang sudah mendjadi warga-negara Republik Indonesia ialah mereka jang menurut atau berdasar atas Persetudjuan perihal pembagian warganegara jang dilampirkan kepada Persetudjuan Perpindahan memperoleh kebangsaan Indonesia, dan mereka jang kebangsaannja tidak ditetapkan oleh Persetujuan tersebut, jang pada tanggal 27 Desember 1949 sudah mendjadi warga-negara Indonesia menurut perundang-undangan Republik Indonesia jang berlaku pada tanggal tersebut. 



BAGIAN III
Ketentuan penutup 
Pasal 145
Segera sesudah Undang-undang Dasar ini mulai berlaku, Pemerintah mewadjibkan satu atau beberapa panitia jang diangkatnja, untuk mendjalankan tugas sesuai dengan petundjuk-petundjuknja, bekerdja mengichtiarkan, supaja pada umumnja sekalian perundang-undangan jang sudah ada pada saat tersebut disesuaikan kepada Undang-undang Dasar.
Pasal 146
Segera sesudah Undang-undang Dasar berlaku Pemerintah mewudjudkan pembentukan aparatur Negara jang bulat untuk melaksanakan pokok-pokok dari Undang-undang Dasar jang merupakan djiwa perdjuangan nasional dengan djalan menjusun kembal tenaga-tenaga jang ada. 
Pasal II
1.         Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari tanggal 17 Agustus 1950.
2.         Djikalau dan sekadar sebelum saat jang tersebut dalam ajat 1 sudah dilakukan tindakan-tindakan untuk membentuk alat-alat perlengkapan Republik Indonesia, sekaliannja atas dasar ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasar ini, maka ketentuan-ketentuan itu berlaku surut sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan dilakukan.
 Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan pengumuman undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat.















Disahkan Di Djakarta
Pada Tanggal 15 Agustus 1950
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,
Ttd.
SOEKARNO

PERDANA MENTERI,
Ttd.
MOHAMMAD HATTA
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
SOEPOMO

Diumumkan Di Djakarta
Pada Tanggal 15 Agustus 1950
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
SOEPOMO



Artikel Terkait