Saturday 27 April 2013

Hakikat Perjanjian Perkawinan

loading...
loading...


Dalam kehidupan manusia di dunia, secara alamiah masing-masing (laki-laki dan perempuan) mempunyai daya tarik-menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan untuk menciptakan suatu keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi. Motivasi perkawinanSeorang manusia pasti memiliki keinginan untuk melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang diinginkannya. Perkawinan merupakan sebuah institusi yang sakral dan mulia. Perkawinan harus dilandaskan pada rasa saling mengasihi antara kedua mempelai. Dalam Undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melihat definisi perkawinan yang disebutkan dalam undang-undang di atas, kita dapat melihat bahwa dalam suatu perkawinan haruslah dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang terhadap pasangan kita. Kita harus bisa memposisikan diri di tempat yang tepat. Sebagai suami berarti kita sebagai pelindung keluarga dan kepala rumah tangga. Seorang istri haruslah menjadi ibu yang baik dan pasangan yang mampu memahami suaminya.


 Orang yang ingin melakukan perkawinan mempunyai motivasi tersendiri. Mereka melakukan perkawinan atas dasar pertimbangan yang matang. Ada beberapa motivasi dalam perkawinan yaitu :
1.      Genetis
Melakukan perkawinan yang bertujuan untuk melahirkan generasi penerus. Hal ini dilakukan agar keturunan kita meneruskan kehidupan di dunia dan melanjutkan keluarga. Kita menginginkan lahirnya seorang anak dalam perkawinan.
2.      Biologis
Secara biologis memang manusi memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya. Melalui perkawinan manusia dapat melakukan hubungan seksual dengan pasangannya karena sudah terikat baik menurut agama ataupun menurut aturan hukum.
3.      Sosiologis
Terkadang ada orang yang menginginkan adanya perubahan (mobilitas) sosial. Melalui perkawinan status seseorang dalam masyarakat dapat terangkat dan diakui oleh masysrakat sekitar. Orang yang telah menikah biasanya lebih dipandang dan dihormati oleh masyarakat.
4.      Religius
Agama manapun pasti mengatur penganutnya untuk melaksanakan perkawinan. Agama tidak hanya mengatur peribadatan saja tetapi juga mengatur kehidupan manusia. Pernikahan diperitahkan oleh agama, karena agama mengharamkan adanya perzinahan.
5.      Psikologis
Semakin bertambahnya umur seseorang akan merubah pola pikir dan prilaku seseorang. Semakin dewasa seseorang ia akan berfikir untuk menikah. Pernikahan dapat merubah seseorang menjadi lebih dewasa dan matang.
6.      Ekonomi
Ekonomi seseorang juga merupakan faktor bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Terkadang ada orang yang menginginkan harta yang dimiliki oleh pasangannya juga mengharapkan warisan dari mertua. Di desa seringkali pernikahan dilakukan untuk mengurangi beban tanggungan keluarga.
7.      Politis
Unsur politis tidak dapat dilepaskan dari pernikahan. Banyak pernikahan yang dilakukan untuk menyenangkan orang tua saja tanpa didasari oleh rasa cinta. Seringkali kepentingan lain masuk dalam perkawinan dan mempengaruhi motivasi seseorang untuk menikah.
Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab. Bagaimanapun juga suatu perkawinan yang sukses tidak dapat diharapkan dari mereka yang masih kurang matang, melainkan menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan psikis dan mental, untuk itu suatu perkawinan haruslah diawali dengan suatu persiapan yang matang pula. Sebelum melangkah kejenjang perkawinan ada kalanya calon pasangan suami isteri membuat suatu perjanjian kawin.
Perjanjian atau dalam agama kita mengenal dengan istilah akad yang berarti perjanjian atau persetujuan, dan ada pula yang mengartikan dengan istilah perikatan karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Sedangkan dalam lapangan hukum perjanjian di artikan sebagai perbuatan hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum. Perkawinan itu sendiri menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Hukum Perdata sendiri perkawinan adalah suatu persekutuan yang di lakukan seorang pria dan wanita untuk menuju kehidupan yang kekal. Perjanjian perkawinan adalah suatu kesepakatan yang di lakukan oleh kedua pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Dengan di adakannya perjanjian perkawinan di harapkan dapat menjadi acuan jika suatu saat terjadi konflik dalam rumah tangga. Selain itu bila dalam rumah tangga tersebut terjadi prahara sebab suami menganiaya dan menelantarkan isteri dan perceraian di anggap sebagai pilihan terakhiryang harus di tempuh, maka perjanjian perkawinan dapat memprmudah isteri untuk lepas dari ikatan perkawinan dengan suaminya.
Meski demikian negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran menjadi hal yang sensitif ketika seorang calon pasangan berniat untuk membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang tidak lazim, dan di anggap tidak biasa, egois, tidak etis dan tidak sesuai dengan adat timur. Oleh karena demikian, oleh karenanya perlu kiranya di beri pemahaman tentang hakikatnya di buat perjanjian perkawinan tersebut yang bukan semata-mata hanya untuk memperthankan ego salah satu pihak, tapi sebagai bentuk perlindungan hak-hak wanita. Bila di rumuskan secra sederhana kita mendapatkan nilai-nilai perlindungan yang terkandung di dalamnya, yakni nilai moral seorang suami, rasa  cinta yang akan di berikan pada isteri dan anak-anaknya, tanggungjawab yang akan di jalani suami selama berkeluarga. Dalam konsekuensi tersebut perlu di beri kebijakan bahwa dengan pelanggaran pada sebuah perjanjian perkawinan tidak mesti harus di akhiri dengan perceraian, kecuali di lakukan dengan unsur kesengajaan oleh suami yang sudah tidak meninginkan untuk hidup bersam isterinya lagi. Dalam kitab Hukum Indonesia pun terkandung nilai perlindungan, meskipun perlindungan tersebut menyangkut harta baik harta pribadi atauharta pencaharian masing-masing, maupun harta pencaharian bersama. Perlindungan ini di harapkan untuk menghindari dari sewenag-wenang salah satu pihak terhadap harta yang mereka miliki.
Perjanjian mulai berlaku antara suami dan isteri pada saat pernikahan di tutup di depan Pegawai Pencatatn Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dimana pernikahan telah di langsungkan. Orang tidak di perbolehkan menyimpang dari peraturan tentang saat mulai berlakunya perjanjian ini. Dan juga tidak di perbolehkan menggantungkan perjanjian pada suatu kejadian yang terletak di luar kekuasaan manusia, sehingga terdapat suatu keadaan yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga

Artikel Terkait