loading...
loading...
Dalam kehidupan manusia di dunia, secara
alamiah masing-masing (laki-laki dan perempuan) mempunyai daya tarik-menarik
antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis
dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan
untuk menciptakan suatu keluarga/rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera
dan abadi. Motivasi perkawinanSeorang manusia
pasti memiliki keinginan untuk melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang
diinginkannya. Perkawinan merupakan sebuah institusi yang sakral dan mulia.
Perkawinan harus dilandaskan pada rasa saling mengasihi antara kedua mempelai.
Dalam Undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa : Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Melihat definisi perkawinan yang disebutkan dalam
undang-undang di atas, kita dapat melihat bahwa dalam suatu perkawinan haruslah
dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang terhadap pasangan kita. Kita harus
bisa memposisikan diri di tempat yang tepat. Sebagai suami berarti kita sebagai
pelindung keluarga dan kepala rumah tangga. Seorang istri haruslah menjadi ibu
yang baik dan pasangan yang mampu memahami suaminya.
Orang yang ingin melakukan
perkawinan mempunyai motivasi tersendiri. Mereka melakukan perkawinan atas
dasar pertimbangan yang matang. Ada beberapa motivasi dalam perkawinan yaitu :
1. Genetis
Melakukan
perkawinan yang bertujuan untuk melahirkan generasi penerus. Hal ini dilakukan
agar keturunan kita meneruskan kehidupan di dunia dan melanjutkan keluarga.
Kita menginginkan lahirnya seorang anak dalam perkawinan.
2. Biologis
Secara biologis
memang manusi memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seksual dengan lawan
jenisnya. Melalui perkawinan manusia dapat melakukan hubungan seksual dengan
pasangannya karena sudah terikat baik menurut agama ataupun menurut aturan
hukum.
3. Sosiologis
Terkadang ada
orang yang menginginkan adanya perubahan (mobilitas) sosial. Melalui perkawinan
status seseorang dalam masyarakat dapat terangkat dan diakui oleh masysrakat
sekitar. Orang yang telah menikah biasanya lebih dipandang dan dihormati oleh
masyarakat.
4. Religius
Agama manapun pasti
mengatur penganutnya untuk melaksanakan perkawinan. Agama tidak hanya mengatur
peribadatan saja tetapi juga mengatur kehidupan manusia. Pernikahan
diperitahkan oleh agama, karena agama mengharamkan adanya perzinahan.
5. Psikologis
Semakin bertambahnya
umur seseorang akan merubah pola pikir dan prilaku seseorang. Semakin dewasa
seseorang ia akan berfikir untuk menikah. Pernikahan dapat merubah seseorang
menjadi lebih dewasa dan matang.
6. Ekonomi
Ekonomi
seseorang juga merupakan faktor bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan.
Terkadang ada orang yang menginginkan harta yang dimiliki oleh pasangannya juga
mengharapkan warisan dari mertua. Di desa seringkali pernikahan dilakukan untuk
mengurangi beban tanggungan keluarga.
7. Politis
Unsur politis
tidak dapat dilepaskan dari pernikahan. Banyak pernikahan yang dilakukan untuk
menyenangkan orang tua saja tanpa didasari oleh rasa cinta. Seringkali
kepentingan lain masuk dalam perkawinan dan mempengaruhi motivasi seseorang
untuk menikah.
Masalah perkawinan bukan hanya sekedar
memenuhi kebutuhan biologis dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu,
yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan
tanggung jawab. Bagaimanapun juga suatu perkawinan yang sukses tidak dapat
diharapkan dari mereka yang masih kurang matang, melainkan menuntut kedewasaan
dan tanggung jawab serta kematangan psikis dan mental, untuk itu suatu
perkawinan haruslah diawali dengan suatu persiapan yang matang pula. Sebelum
melangkah kejenjang perkawinan ada kalanya calon pasangan suami isteri membuat
suatu perjanjian kawin.
Perjanjian atau dalam agama kita mengenal dengan istilah akad yang
berarti perjanjian atau persetujuan, dan ada pula yang mengartikan dengan
istilah perikatan karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad.
Sedangkan dalam lapangan hukum perjanjian di artikan sebagai perbuatan hukum
yang dapat menimbulkan akibat hukum. Perkawinan itu sendiri menurut
Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk membentuk
keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sedangkan menurut Hukum Perdata sendiri perkawinan adalah suatu
persekutuan yang di lakukan seorang pria dan wanita untuk menuju kehidupan yang
kekal. Perjanjian perkawinan adalah suatu kesepakatan yang di lakukan oleh
kedua pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Dengan di adakannya perjanjian
perkawinan di harapkan dapat menjadi acuan jika suatu saat terjadi konflik
dalam rumah tangga. Selain itu bila dalam rumah tangga tersebut terjadi prahara
sebab suami menganiaya dan menelantarkan isteri dan perceraian di anggap
sebagai pilihan terakhiryang harus di tempuh, maka perjanjian perkawinan dapat
memprmudah isteri untuk lepas dari ikatan perkawinan dengan suaminya.
Meski demikian negara kita yang masih menjunjung tinggi adat
ketimuran menjadi hal yang sensitif ketika seorang calon pasangan berniat untuk
membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang
tidak lazim, dan di anggap tidak biasa, egois, tidak etis dan tidak sesuai
dengan adat timur. Oleh karena demikian, oleh karenanya perlu kiranya di beri
pemahaman tentang hakikatnya di buat perjanjian perkawinan tersebut yang bukan
semata-mata hanya untuk memperthankan ego salah satu pihak, tapi sebagai bentuk
perlindungan hak-hak wanita. Bila di rumuskan secra sederhana kita mendapatkan
nilai-nilai perlindungan yang terkandung di dalamnya, yakni nilai moral seorang
suami, rasa cinta yang akan di berikan
pada isteri dan anak-anaknya, tanggungjawab yang akan di jalani suami selama
berkeluarga. Dalam konsekuensi tersebut perlu di beri kebijakan bahwa dengan
pelanggaran pada sebuah perjanjian perkawinan tidak mesti harus di akhiri
dengan perceraian, kecuali di lakukan dengan unsur kesengajaan oleh suami yang
sudah tidak meninginkan untuk hidup bersam isterinya lagi. Dalam kitab Hukum
Indonesia pun terkandung nilai perlindungan, meskipun perlindungan tersebut
menyangkut harta baik harta pribadi atauharta pencaharian masing-masing, maupun
harta pencaharian bersama. Perlindungan ini di harapkan untuk menghindari dari
sewenag-wenang salah satu pihak terhadap harta yang mereka miliki.
Perjanjian mulai berlaku antara suami dan isteri pada saat pernikahan di
tutup di depan Pegawai Pencatatn Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang
pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri
setempat dimana pernikahan telah di langsungkan. Orang tidak di perbolehkan
menyimpang dari peraturan tentang saat mulai berlakunya perjanjian ini. Dan
juga tidak di perbolehkan menggantungkan perjanjian pada suatu kejadian yang
terletak di luar kekuasaan manusia, sehingga terdapat suatu keadaan yang
meragu-ragukan bagi pihak ketiga